RUU Cipta Kerja: Pil Pahit Pemulihan Ekonomi

Yang disoroti dari omnibus law adalah otoritasnya untuk membatalkan undang-undang yang selama ini berlaku

RUU Cipta Kerja: Pil Pahit Pemulihan Ekonomi
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM – RUU Cipta Kerja yang lebih dikenal dengan omnibus law menjadi isu politik yang cukup menuai polemik. Pihak pro maupun kontra tak sungkan beradu argumentasi melalui media massa. Aksi-aksi massa dikerahkan dalam rangka mendukung dan menolak pengesahan RUU ini. Sampai saat ini RUU Cipta Kerja masih menjadi pembahasan legislasi nasional. RUU ini masih digodok oleh DPR RI sembari menampung beragam aspirasi dari berbagai elemen masyarakat.

Omnibus Law secara bahasa hukum untuk semua, yakni suatu undang-undang yang di dalamnya mengandung beragam topik. Kita tahu bahwa biasanya sebuah undang-undang hanya membahas satu topic tertentu. Misalnya undang-undang Sisdiknas hanya membahas soal pendidikan. Di dalam omnibus law terdapat banyak pembahasan, diantaranya adalah soal izin usaha dan ketenagakerjaan. Karena banyaknya pembahasan di dalamnya, maka tak heran jika draft omnibus law sangat tebal.

Yang disoroti dari omnibus law adalah otoritasnya untuk membatalkan undang-undang yang selama ini berlaku. Seperti kita tahu bahwa negara kita menganut otonomi daerah, dimana pemerintah daerah tingkat I dan II berhak mengeluarkan aturan sendiri yang dinamakan dengan peraturan daerah. Omnibus law secara hukum mempunyai otoritas guna membatalkan peraturan-peraturan daerah yang telah dibuat.

Secara umum aturan dalam omnibus law melonggarkan izin investasi, sehingga para investor dapat lebih mudah berinvestasi pada suatu wilayah. Omnibus law juga mempermudah sebuah perusahaan untuk merekrut atau mem-PHK karyawannya, serta menurunkan tingkat upah yang diterima oleh pekerja. Selama ini Indonesia mempunyai aturan yang ketat terkait investasi, hal ini berkaitan dengan banyak aspek seperti kelestarian lingkungan. Misalnya sebuah perusahaan saat akan memulai investasi harus memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Aturan-aturan ketenagakerjaan di Indonesia pun sudah cukup lengkap. Kehadiran dan solidaritas serikat pekerja di Indonesia membuat mereka berhasil menggoalkan aturan-aturan yang menguntungkan pekerja. Pekerja mendapatkan banyak fasilitas dan jaminan kesejahteraan dari pihak perusahaan, upah minimum pun tergolong tinggi. Sayangnya jika dilihat dari sisi lain, aturan ketat terkait investasi dianggap sebagai penghambat investasi. Padahal investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran.

Aturan-aturan ketenagakerjaan pun membuat perusahaan menjadi berat secara operasional, karena seringkali tidak diimbangi dengan peningkatan produktifitas pekerja. Tingginya upah minimum juga membuat tenaga kerja yang diserap tidak bisa optimal. Padahal jika upah yang ditetapkan sesuai dengan hukum pasar, maka tenaga kerja yang terserap bisa lebih banyak dari yang sekarang. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya omnibus law atau RUU Cipta Kerja.

Dari uraian sebelumnya kita sudah mendapat gambaran umum dua argument yang bertentangan antara pendukung dan yang menolak RUU Cipta Kerja. Yang mendukung beranggapan bahwa Omnibus Law adalah solusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran. Di pihak ini ada Center for Strategic and International Studies (CSIS), yang berpandangan bahwa omnibus law seharusnya sudah diterapkan sejak beberapa tahun yang lalu karena dapat meningkatkan iklim investasi.

Namun Wakil Ketua MPR RI dari Partai Demokrat Syarief Hasan berpandangan bahwa aspirasi masyarakat terkait RUU Ciptaker selayaknya didengarkan. Menurut Syarief pemerintah seharusnya fokus terlebih dahulu kepada pandemic dibanding Omnibus Law. Adapun Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan RUU Cipta Kerja telah dibahas secara tripartite melibatkan pemerintah, pengusaha dan serikat buruh. Hasil pembahasan akan diserahkan kepada DPR RI sebagai perumus RUU Ciptaker.

Menurut teori, tidak ada kebijakan publik yang bisa memuaskan semua pihak. Pasti selalu ada pihak yang tidak puas atas sebuah kebijakan publik. Namun seorang pemimpin dituntut untuk berani mengambil keputusan walaupun tidak popular. Apakah nantinya omnibus law akan disahkan atau tidak, masing-masing memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Sebagai rakyat, kita berharap para pejabat mengeluarkan kebijakan yang paling maslahat diantara beragam pilihan yang ada.