Umat Garis Tengah
Tahun politik menimbulkan banyak pertikaian politik yang merusak keutuhan bangsa. Lalu, kenapa Umat Islam disebut ummatan wasathon, yaitu umat yang moderat?

MONDAYREVIEW- Bineka Tunggal Ika, bukan sekedar jargon tapi konon sudah tertanam lama di masyarakat kita. Dahulu, kita tidak pernah dengar ada konflik dengan latar belakang agama, atau suku. Ketika Indonesia mulai masuk ke era reformasi, saat kebebasan berpendapat, keterbukaan dan hak asasi manusia mulai ditegakan, kita terhenyak tiba-tiba muncul konflik berdarah atas nama agama dan suku.
Pada saat orde baru, ketika kekuasaan tersentralisasi, riak-riak konflik seolah-olah terpendam. Tak ada yang berani berbeda apalagi menentang pemerintah. Cerita masa lalu itu tentu harus dikubur, karena saat ini kita berada di era keterbukaan dan kebebasan, namun kita harus hati-hati. Jika dibiarkan liar, kedamaian negeri ini akan terancam.
Di tahun politik ini, kita merasakan bagaimana perbedaan pilihan politik bisa membuat persaudaraan terputus, kedamaian terganggu. Caci maki, ujaran kebencian bahkan berita bohong (hoaks), makin sering kita saksikan.
Para ulama sudah banyak yang teriak mengingatkan pentingnya Islam kembali dihayati sebagai panduan hidup, tidak hanya ritual ibadah tapi juga dalam kehidupan berpolitik, Dalam peringatan Isro Mi’raj, di Istana Bogor, beberapa waktu lalu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengajak umat islam, untuk menghadirkan wajah agama yang moderat, yang disebut dalam Alquran sebagai karakter wasathiyyah.
Umat Islam adalah umat wasathon, sebagaimana disebutkan dalam firman Alloh Ta’ala “Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (QS. al-Baqarah: 143).
Dalam ayat tersebut terdapat istilah ummatan wasathan. Kata wasath berarti tengah, pertengahan, moderat, jalan tengah, seimbang antara dua kutub atau dua ekstrim (kanan dan kiri). Ummatan washatan adalah umat yang bersikap, berpikiran, dan berperilaku moderasi, adil, dan proporsional antara kepentingan material dan spiritual, ketuhanan dan kemanusiaan, masa lalu dan masa depan, akal dan wahyu, individu dan kelompok, realisme dan idealisme, dan orientasi duniawi dan ukhrawi.
Ketika menafsirkan ayat ummatan wasathan, at-Thabari mengartikannya sebagai udulan (umat yang adil) dan khiyar (pilihan). Umat pilihan adalah umat yang berlaku adil. Ibn Katsir juga menyatakan yang dimaksud ayat 143 al-Baqarah tersebut adalah al-khiyar wa al-ajwad (pilihan dan yang terbaik).
Menurut hadits riwayat al-Bukhari dan Ahmad, ayat tersebut turun berkaitan dengan sabda Nabi Saw yang artinya: “Di hari kiamat kelak Nabi Nuh As. akan dipanggil (Allah) lalu ditanya: “Apakah Engkau telah menyampaikan (wahyu)? Ia lalu menjawab: ya, sudah. Kaumnya lalu dipanggil dan ditanya: “Apakah dia (Nuh) telah menyampaikan kepada kalian?” Mereka menjawab: “Tidak seorang pemberi peringatan pun datang kepada kami.” Lalu Nuh ditanya lagi, “Siapa yang bersaksi kepadamu?” Ia menjawab: “Muhammad dan ummatnya”, lalu turunlah ayat tersebut.
Umat islam merupakan umat yang telah berjuang untuk meraih kemerdekaan di negeri ini. Agama menjadi inspirasi para pejuang kita, untuk rela mengorban nyawanya untuk mengusir penjajah karena membela agama dan tanah airnya. Karena itu, agama tak bisa dipisahkan dari negara.
Presiden Jokowi dalam sambutannya pada silaturahmi penyuluh agama se-Jawa tengah, Sabtu lalu mengatakan bahwa agama dan negara bukan untuk saling dipertentangkan. “Negara memberi perlindungan dalam berkeyakinan dan agama memberi panduan ilahiyah bagi masyarakat dalam berperilaku dan bermasyarakat,” katanya. Karena itu, menurut Jokowi, pemerintah dan pemuka agama harus saling bekerja sama dalam rangka membangun Indonesia yang lebih kukuh.
Para ulama dan tokoh ormas islam harus makin didekati oleh para elit politik, bukan sekedar dimanfaatkan untuk mencari dukungan umat menjelang pilkada atau pilpres. Ulama adalah pewaris nabi, yang bisa memandu, sekaligus menjadi spirit untuk melahirkan berbagai kebijakan politik, demi kepentingan bangsa dan negara.
Umat yang wasathon itu, tentu tidak bisa diidentikan dengan kelompok yang bersebarangan dengan pemerintah, atau sebaliknya mereka hanya ada kelompok pendukung pemerintah. Umat yang wasathon itu bisa jadi ada di kedua belah pihak, sepanjang mereka memiliki nilai-nilai keadilan, dan keunggulan sebagaimana disebutkan dalam Alquran.
Umat yang washaton itu, mampu berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, peradaban). Mereka harus menjadi teladan, sebagaimana teladannya Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam. Mereka mampu bersikap adil, dimana pun dan kepada siapa pun.
Umat yang wasathon, juga bukan berarti diam, jika melihat kemungkaran di depan mata. Sebagaimana umat terbaik, tugasnya amar ma’ruf nahi mungkar. Namun, jika kita tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, bukan berarti menghalalkan kita untuk menjelek-jelekan, apalagi memberontak. Inilah aqidah ahlussunnah wal jamaah, yang dipegang oleh para ulama, yang tergabung, antara lain dalam ormas islam seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Lalu, bagaimana jika para pemimpin kita dzolim?
Nasehatilah dan doakanlah, Imam Fudhail bin Iyadh rahimahulloh pernah berkata, “seandainya aku tahu bahwa aku memiliki doa yang mustajab, maka akan gunakan untuk mendoakan penguasa.”
Tentu, tidak mungkin ada nasehat, jika ulama dijauhi oleh para penguasa.