Ketika Agama Dimaknai secara Teks Mengabaikan Konteks

Para ulama berfatwa berlandaskan pada pengetahuan mendalam mereka terhadap agama setelah mendengarkan ahli virus corona. Maka merendahkan fatwa mereka dapat dimaknai penegasian terhadap otoritas keilmuan agama dan sains sekaligus.

Ketika Agama Dimaknai secara Teks Mengabaikan Konteks
Ilustrasi/Net

“Saya tak takut Corona, hanya takut Allah”

Kalimat ini benar dan menggambarkan keimanan mereka yang tinggi, tapi sebenarnya sarat akan teologi Jabariyyah, artinya pasrah tanpa ikhtiar. Padahal dalam teologi qadariyah, mewajibkan ikhtiar. 

Sebagaimana sabda Baginda Nabi yang mengatakan: “Larilah engkau dari lepra sebagaimana larinya engkau dari singa” (HR. Bukhari). 

Apakah mereka lebih tinggi keimanannya dari keimanan Baginda Nabi?

“Tak mungkin Allah turunkan wabah kepada orang-orang shalih”. 

Kalimat ini tampak seperti benar, tapi ada kerancuan. Kalau diyakini bahwa wabah hanya akan mengenai orang kafir/ahli maksiat, lalu jika kita kontekstualkan maka timbul pertanyaan berikutnya bagaimana dengan Sahabat mulia Muadz bin Jabal yang wafat karena wabah penyakit saat itu? Apakah keimanan beliau lebih rendah dari keimanan mereka yang mengatakan kalimat di atas?

“Tapi mesjid ini adalah rumah Allah, tak mungkin Allah turunkan wabah di rumah-Nya, maka fatwa para ulama itu  "dianggap keliru”. 

Ini pun tampak manis didengar, padahal ada konteksnya dengan sabda Baginda:

 “Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat.” (HR. al-Bukhari). Hadits ini bersifat umum, di semua tempat.

“Tapi tampaknya di wilayah kita aman-aman saja”, 

Semoga kalimat ini benar sesuai fakta. Tapi ahli virus mengatakan bahwa Corona adalah wabah dengan sifatnya yang mudah tersebar dengan inkubasi yang cukup panjang, sehingga orang yang terpapar baru akan ketahuan setelah 14 hari-an. Inilah salah satu konteksnya ketika bergaul mengharuskan kita menjaga jarak sosial (social distancing) 

Fenomena kalimat- kalimat di atas merupakan bentuk bagaimana otoritas keilmuan tak lagi dihargai, baik ilmu agama maupun sains, dan ironisnya antara teks dan konteks gak nyambung.

Karena itu benar Allah berfirman:

 “Tanyakanlah kepada ahli ilmu apabila engkau tak mengetahui"

Tak mungkin para ulama berfatwa tanpa pemahaman agama yang kuat. Mesir, Saudi Arabia, Kuwait, di antara negara-negara yang lebih dahulu mengeluarkan fatwa berkaitan dengan ibadah jumat selama wabah corona berlangsung. 

Mereka berfatwa dengan ilmu, ratusan hadits mereka hafal. Tak perlu ditanya mengenai hafalan Quran mereka, jangankan ulama, disana orang “biasa” hafal Quran bukan hal “luar biasa”. Para ulama sangat paham bagaimana “himayatul ummah” yang merupakan salah satu tugas ulama untuk  mewujudkan “maqashid” syariah. 

Sebenarnya malu kita kalau bandingkan ilmu kita dengan mereka para ulama. Pertanyaan bagi masyarakat? Jangankan hafal 30 juz, juz 30 saja mungkin kita tak hafal. Jangankan hafal ratusan hadits, hadit “innamal a’malu binniyyat … ” saja mungkin kita tak hafal. Begitu juga dengan para ulama di MUI apakah di ragukan keilmuannya?

Ada pula yang mengatakan,

 “kita tidak mengikuti ulama, tapi kita mengikuti Quran dan Sunnah”. 

Kalimat ini pun sangat manis, tapi apakah para ulama itu tidak mengikuti Quran dan Sunnah? Siapa yang lebih paham dengan Quran dan Sunnah? Kita ataukah para ulama itu yang jelas sanad keilmuannya?

Para ulama berfatwa berlandaskan pada pengetahuan mendalam mereka terhadap agama setelah mendengarkan ahli virus corona. Maka merendahkan fatwa mereka dapat dimaknai penegasian terhadap otoritas keilmuan agama dan sains sekaligus.

Simak Firman Allah dalam QS. Annahal: 43,

وَمَآ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۖ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui"

Perlu diingat, Baginda Nabi juga bersabda:

إذا وسد الأمر الی غیر اهله فانتظر الساعة

"Jika suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, nantikanlah kebinasaan yang akan datang"

 

- Dr Amirsyah Tambunan

Wasekjen MUI Pusat dan Sekjen Asosiasi Dosen Indonesia