Jamuan Rasa Tiongkok

Ada banyak fakta yang dapat membantah pandangan orang selama ini yang menganggap semua orang China membenci Islam. Itu tak lain merupakan buah dari ketidaktahuan kita.

Jamuan Rasa Tiongkok
Muchlas Rowie saat berkunjung ke Tiongkok.

MEMBACA narasi-narasi tentang kekerasan yang menimpa etnis Uighur di Tiongkok lewat media sosial, seringkali membuat kita atau siapa pun merasa cukup untuk berkesimpulan. Masyarakat nNgeri Tirai Bambu itu seakan mempunyai kebencian yang mendalam terhadap umat Islam.

Bagaimana tidak, di media sosial ada banyak jejak digital yang disuguhkan untuk menguatkan anggapan bahwa etnis Uighur yang mayoritas beragama Islam mendapatkan perlakuan diskriminatif dari pemerintah setempat.

Buktinya, ada pelarangan memakai busana muslim, dan juga memelihara jenggot. Itu seringkali dijadikan bukti, bila penguasa setempat telah bersikap represif terhadap umat Islam. Belum lagi aturan lain yang membatasi kebebasan beragama terhadap etnis minoritas keturunan bangsa Turki tersebut.

Namun, anggapan tersebut bisa saja berbeda jika melihat langsung dinamika kehidupan sosial di negara itu. Pepatah bahwa untuk mengatahui sesuatu yang sebenarnya harus melihat langsung ke dalamnya, mungkin saja berlaku.

Dalam sebuah perjalanan bisnis beberapa saat lalu ke Negeri Tiongkok, saya cukup terkejut dengan apa yang saya lihat disana. Terutama dengan cara orang-orang Tiongkok menyambut, menjamu dan menghormati tamunya.

Anggapan orang selama ini tentang Negeri Tiongkok yang membenci Islam terbantahkan. Manakala saya sebagai seoarang muslim disambut hangat oleh masyarakat non-muslim di Negeri Tiongkok. Masyarakat muslim yang saya lihat disana, juga hidup dengan damai. Mereka hidup berdampingan dengan penganut agama lain.

Rekan bisnis saya di Tiongkok, adalah seorang direktur utama di sebuah perusahaan ternama. Demi menghormati saya beserta rombongan, dia rela mengantarkan saya untuk melaksanakan ibadah shalat ke masjid terdekat. Disana saya dapati suasana masjid yang damai, terpancar amat jelas. Arsitektur bangunan beserta ukiran kaligrafi bertuliskan ‘Hubul Wathan Minal Iman (cinta tanah air sebagian dari iman) seolah hendak mengatakan bila di Tiongkok, kecintaan kepada tanah air teramat penting, bagaimana pun kondisinya.

 

Hal itu yang menurut saya, menunjukan bahwa Islam di Negara Tiongkok, tidak seperti yang digambarkan di pemberitaan media selama ini. Sering disebut radikal, dan merongrong keutuhan negara. Padahal, yang ada adalah Islam yang damai, mencintai negaranya, dan juga hidup berdampingan dengan penganut agama lain.

Selepas melaksanakan shalat, saya bahkan diantar oleh sang direktur untuk mencari makanan halal yang ada di daerah itu, dan menyantap makanan sambil berdiskusi ringan. Betapa ramah dan mau menerima perbedaan, mereka dengan hangat menyambut dan menjamu saya.

Selain itu, saat berkunjung ke daerah Ghuangzou. Saya melihat bangunan masjid lebih besar dan indah, dengan lalu lalang kehidupan umat Islam yang normal seperti biasa. Tidak ada diskriminasi ataupun perlakuan berbeda dari warga non-muslim. Dalam kesempatan itu, Saya juga sempat berdiskusi dengan warga setempat terkait perlakuan negara terhadap umat Islam di tempat itu. Umat Islam disana mengaku tidak merasa mendapat perlakuan berbeda apalagi sampai dengan kekerasan fisik dari pemerintah.

Soal pendidikan yang diterima umat Islam, Saya pikir juga cukup baik. Tiongkok, sebagai negara dengan tingkat pendidikan dan teknologi yang sudah baik, mereka memang memperhatikan betul setiap warga negaranya untuk mendapatkan akses pendidikan yang baik tanpa terkecuali.

Meski begitu, terkait kekerasan terhadap Muslim Uighur di daerah Xinjiang, memang harus diakui keberadaanya, seperti yang ada dalam pemberitaan selama ini. Namun saya menduga ada unsur politik dibalik itu semua, bukan semata karena pemerintah negara tersebut mempunyai sentimen untuk membenci umat Islam.

Seperti juga terjadi di Tibet yang mayoritas beragama Budha. Konflik dan kekerasan yang terjadi tak lebih dari urusan politik dan kekuasaan. Dan ini sudah terjadi sejah lama. Tepatnya sejak Tibet berhasil bebas dari pengaruh bangsa Mongol tahun 1358.  

Dengan fakta-fakta yang saya lihat dan rasakan tersebut, maka pandangan orang selama ini yang menganggap semua orang Tiongkok membenci Islam itu tak lain merupakan buah dari ketidaktahuan kita. Anggapan itu sejatinya lahir dari orang yang tidak mencerna keadaan, dan intinya orang seperti itu 'butuh piknik'.