Lingkaran Setan Depresi, Pandemi, dan Masalah Ekonomi

MONITORDAY.COM - Bagai simalakama, di satu sisi kita sedang membangun optimisme untuk menggenjot ekonomi di kuartal kedua 2021. Di sisi lain upaya pengendalian pandemi juga menghadapi situasi yang tak mudah. Angka penularan global menjadi gambaran bahwa situasi outbreak akan dihadapi banyak negara. Hanya tinggal menunggu giliran saja.
Hari-hari di pekan kedua bulan Juni 2021 ini Indonesia mengalami situasi yang kembali mencemaskan. Angka kasus penularan dan kematian akibat COVID-19 kembali meningkat. Di Jakarta, tingkat hunian RSDC Wisma Atlet mencapai 80%. Kasus juga meningkat di Kudus dan Bangkalan. Juga di banyak wilayah lainnya.
Banyak orang cemas. Takut tertular bagi yang sehat. Takut berakibat fatal bagi yang sudah terkonfirmasi positip. Padahal kecemasan sendiri menurunkan imunitas. Seperti lingkaran setan yang menghubungkan antara dampak kesehatan pandemi, kecemasan terpapar, kecemasan kehilangan penghasilan dan pekerjaan, serta kampanye protokol kesehatan dan pembatasan mobilitas manusia. Dan salah satu muara kecemasan adalah menurunnya kualitas kesehatan mental.
Para ahli kesehatan jiwa mengidentifikasi bahwa faktor yang bisa memicu kondisi kesehatan mental, mulai dari kepedihan, isolasi, hingga kehilangan pendapatan dan ketakutan yang muncul akibat pandemi. Sementara itu banyak juga yang memilih untuk mengabaikan protokol kesehatan meski dalam hati kecilnya ada kecemasan yang tak serta merta dapat diatasi atau dihilangkan. Lebih cenderung ke arah putus asa atau menyerah dengan caranya masing-masing.
Faktanya banyak orang yang akhirnya melarikan diri dengan cara mengonsumsi alkohol, mengalami insomnia. Jika hal tersebut terjadi maka bukan jalan keluar yang didapatkan justru akan semakin berdampak luas dan menimbulkan persoalan dan penyakit baru. Kecanduan minuman beralkohol sangat berpotensi memici beragam penyakit. Insomnia yang berarti mengurangi jam atau kualitas istirahat juga akan menekan kekebalan tubuh manusia.
Data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mencatat dari 4010 hasil swaperiksa masalah psikologis yang telah berjalan selama 5 bulan di Indonesia, 64,8% di antaranya mengalami masalah psikologis.
Sementara itu nenurut situs FKM UNAIR Menilik Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, menemukan 14 persen keluarga yang melakukan kurungan, dengan 31,5 persen melakukannya dalam 3 bulan terakhir.
Data WHO pada 2017 menunjukkan tingkat psikiater 0,31, tingkat perawat kesehatan mental 2,52, dan pekerja sosial menilai 0,17 (semua per 100.000 populasi) mengkonfirmasi kurangnya sumber daya kesehatan mental di Indonesia. Disability Adjusted Life Years (DALY) mencapai 2.463,29 per 100.000 populasi dan tingkat kematian bunuh diri 3,4 tanpa strategi terkait pencegahan bunuh diri ditemukan.
Prevalensi nasional depresi di antara orang-orang ≥ 15 tahun mencapai 6,1 persen dengan hanya 9 persen dari mereka yang menerima perawatan dari para profesional (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Peningkatan masalah kesehatan jiwa ini menunjukkan perlunya perhatian khusus terhadap kesehatan mental masyarakat Indonesia.
Merujuk pada survei yang dilakukan WHO antara Juni dan Agustus, setidaknya ada 83 persen dari 130 negara yang telah memasukkan kesehatan mental dalam rencana menghadapi pandemi.
Di tengah pandemi, permintaan terhadap layanan kesehatan mental disebut meningkat secara dramatis. Hal ini tentu menjadi perhatian semua pihak. Dalam keluarga dan di lingkungan sosial terdekat diperlukan berbagai upaya untuk mencegah dampak pandemi terhadap kesehatan mental. Aktivitas membaca, berolahraga, mononton film di rumah, dan memasak menjadi pilihan untuk menjaga agar kondisi psikis kita terjaga.