Lepas dari Jebakan Era Pasca-Kebenaran

MONITORDAY.COM - JIKA ada satu kata yang kerap jadi kata populer setahun terakhir di ruang-ruang digital, terutama media sosial, maka Covid-19 atau virus corona adalah salah satunya. Hampir tidak ada yang bisa menyainginya.
Bagaimana tidak, virus corona lahir di saat pengguna aktif media sosial di aras bumi, telah mencapai 3,6 miliar orang. Sebagian besar diantaranya tak mau ketinggalan dalam membagikan informasi terkait virus corona.
Sayang, derasnya informasi dan perbincangan publik di kanal-kanal digital tidak disertai dengan upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis untuk menelaah konten-konten yang beredar. Akibatnya, informasi seputar covid-19 yang banyak beredar justru malah yang belum bisa dipastikan kebenarannya.
Fakta ini bisa kita lihat bila mengacu pada data penanganan sebaran isu hoaks covid-19 periode Januari-Maret 2021 dari Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) yang menemukan ada 1508 kasus hoaks yang ditemukan. Isu hoaks ini tersebar dalam 2.209 konten di facebook, instagram, twitter, dan youtube.
Terkait temuan tersebut, Kemkominfo pun telah melakukan penanganan sebaran isu hoaks sebanyak 1.926 konten dengan cara take down atau memblokir. Sisanya yaitu 283 konten masih dalam proses penanganan.
Contohnya soal temuan adanya mutasi virus corona di sejumlah daerah baik di Indonesia maupun di banyak negara lainnya. Berdasarkan informasi yang beredar, maka disebut bahwa virus corona hasil mutasi tersebut lebih infeksius dan mematikan.
Ketua Tim Genetik FKKM Universitas Gadjah Mada, dr Gunadi adalah yang kali pertama menemukan adanya mutasi itu diIndonesia. Pria kelahiran Banyuwangi ini meraih gelar S3-nya dari Kobe University, Jepang. Tahun 2014 silam, anak muda kelahiran banyuwangi ini berhasil meraih penghargaan sebagai peneliti muda terbaik dalam kompetisi Ristek Kalbe Science Award (RSKA). selama ini dia juga menekuni penelitan terahadap penyakit genetik atau bawaan pada anak.
Dokter Gunadi mengungkapkan temuannya itu pada Selasa (2/9/2020) lalu dalam sebuah jumpa pers di kampus Universitas Gadjah Mada, Bulak Sumur, Sleman, Yogyakarta. Tim FKKM UGM lantas mengungkap ada empat yang telah bermutasi. “Empat itu dari Yogya, satu dari Jawa tengah,” ujarnya.
Tapi Gunadi belum yakin mutasi tersebut yang menyebabkan tingginya kasus orang yang terinfeksi covid-19. Karena dari temuannya, hanya 4 dari ribuan sampel yang bermutasi.
Ruang digital sejatinya memberi kita ruang baru yang lebih luas untuk berdialektika dan melahirkan peradaban. Bukan sebaliknya, memberi kita ruang untuk merusak peradaban.
Entah karena sedang berproses atau memang salah jalan, ruang digital saat ini penuh sesak oleh perbincangan bernada syara, misuh, sinis, atau bahkan nyinyir. Seolah, tak ada batasan apa itu kritik, nyinyir, atau misuh semata.
Di ruang-ruang itu, sangat sulit bagi kita saat ini untuk mencari kebenaran. Karena semua hal dilontarkan untuk mencari afirmasi, konfirmasi dan dukungan atas keyakinan yang dimiliki orang atau kelompok tertentu.
Parahnya, ruang digital (terutama media sosial) memberi peluang besar terjadinya repetisi terhadap berita atau informasi yang berbau kebohongan. Jika sudah begitu, maka fakta pun dikaburkan. Lalu, lahirlah apa yang disebut sebagai pasca-kebenaran (post truth). Era dimana fakta tak begitu berpengaruh dalam pembentukan opini masyarakat.
Ya, selain virus korona, kata post truth memang tengah semarak dalam kazanah perbincangan di kanal-kanal digital. Tak heran jika ‘post truth’ pernah jadi ‘kata tahun ini’ dalam kamus Oxford di tahun 2016.
Berdasarkan Kamus Oxford diungkapkan, kata ini untuk mendefinisikan situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif.
Mungkin inilah sebabnya orang-orang sekelas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, aktor kawakan Reza Rahardian, atau doktor lulusan Harvard University Sukidi Mulyadi bertahan untuk tak memiliki akun di media sosial. Tak lain dan tak bukan lantaran adanya jebakan post truth ini.
Ya, ketimbang ikut dalam hiruk pikuk dan menambah gaduh ruang-ruang digital kita saat ini, pilihan untuk melakukan penguatan literasi digital adalah lebih diutamakan.
Setiap orang perlu paham bahwa literasi digital merupakan kecakapan penting yang dibutuhkan untuk beradaptasi di Era Pandemi dan Pasca-Kebenaran. Utamanya untuk mengantisipasi penyebaran informasi negatif di masa pandemi Covid-19.
Literasi digital secara sederhana diartikan sebagai kecakapan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai tipe format sumber-sumber informasi yang lebih luas, dan mampu ditampilkan melalui perangkat komputer.
Kemampuan literasi digital menjadikan seseorang mampu mentransformasikan kegiatan melalui penggunaan perangkat teknologi digital. Literasi digital sama pentingnya dengan membaca, menulis, berhitung, dan disiplin ilmu lainnya.
Kenapa penting? Karena hampir semua kegiatan di era pandemi Covid-19 dan Post Truth dialihkan secara daring. Otomotis, hampir semua kalangan masyarakat menggunakan media digital untuk melanjutkan kehidupan.
Tak terkecuali di bidang pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Dengan memiliki kecakapan literasi digital, masyarakat dapat memproses berbagai informasi, memahami pesan, dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Termasuk juga kesadaran dan berpikir kritis ketika menggunakan teknologi dalam sehari-hari.
Melalui literasi digital akan tercipta tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis dan kreatif. Mereka tak akan mudah termakan oleh isu provokatif, apalagi jadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan berbasis digital macam pinjol dan investasi bodong lainnya.
Begitu saya kira, jika kita ingin lepas dari jebakan era pasca-kebenaran. Jika belum bisa seperti itu, maka saran saya, lanjutkan kembali berpuasa saja. Bukan dari haus dan lapar, melainkan dari menggunakan media sosial. Seperti mantan Bos Gojek itu!