Ojol, Pinjol, E-commerce dan Nasib Wong Cilik

Ojol, Pinjol, E-commerce dan Nasib Wong Cilik
Pengemudi Layanan Transportasi @grab.com

MONITORDAY.COM - Digitalisasi membuka ruang terbuka yang sangat luas untuk bekerja dan berusaha. Maraknya Ojol, Pinjol, dan e-commerce menjadi buktinya. Ruang kerja baru tercipta, butuh modal usaha gampang, dan siapapun bisa berdagang. Dengan kata lain digitalisasi dalam konteks tertentu adalah berkah. Termasuk bagi wong cilik.

GoJek sebagai salah satu platform ride-hailing selama satu dekade telah menggaet 2 juta mitra pengemudi dan 900 ribu merchant di seluruh Asia Tenggara. Data lain menunjukkan bahwa 851.661 mitra pengemudi taksi dan ojek online (ojol) telah terdaftar serta memiliki Surat Tanda Registrasi Pekerja (STRP) sebagai izin melintas di wilayah DKI Jakarta. 

Sementara itu terkait pinjol, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada 64,81 juta nasabah dari berbagai pelosok negeri yang meminjam di pinjol sampai Juni 2021. Perputaran uangnya besar sekali bahkan mencapai Rp221,56 triliun. Aliran dana dari pinjol ini meningkat 92,58 persen dari Rp113,46 triliun pada Juni 2020. Hampir dua kali lipat dalam setahun terakhir di tengah pandemi covid-19. Jumlah peminjamnya, naik 15,51 persen dari periode yang sama pada tahun sebelumnya

Menurut survei dari Kemenkop UKM, UNDP, dan Indosat pada 2021, setelah hampir dua tahun di masa pandemi, hampir dari setengah UMKM di Tanah Air menunjukkan ketahanannya terhadap krisis. Dalam rinciannya, 45,3% UMKM masih beroperasi penuh, 30,9% beroperasi setengah saja, dan 24% UMKM menghentikan operasional bisnis.  

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki dalam acara WeWo Webinar Series: Pemulihan Ekonomi Nasional dengan tema ‘UMKM Sebagai Motor Penggerak Perekonomian’ di Jakarta, Rabu (27/10/2021), menyebutkan sekitar 62% UMKM menggunakan platform dalam jaringan (daring) atau online itu untuk memasarkan produk. 

Namun ada data lain  yang menyebutkan bahwa pelaku UMKM yang jumlahnya sekitar 64,2 juta di Indonesia, baru sekitar 24% yang terhubung dengan internet. Jumlah ini memang sudah lebih baik ketimbang sebelum adanya pandemi. 

Selain di sektor UMKM, Riset dari Crowde juga menunjukkan, baru ada 4,5 juta petani dari total 33,4 juta petani di Indonesia pada tahun 2020 yang menggunakan internet selama satu tahun belakangan.

Indonesia jumlah penduduknya banyak, kue ekonominya besar, usia milenial mendominasi struktur demografi, sebagian besar orang punya gawai dan akses internet. Memang masih ada catatan sebagian daerah masih susah sinyal dan membutuhkan kebijakan yang mengafirmasi keadilan digital. Indonesia tetap dinilai akan menjadi kekuatan utama ekonomi digital di Asia Tenggara.

Berdasarkan data yang dihimpun dari perusahaan teknologi global, nilai ekonomi digital Indonesia pada 2020 berjumlah Rp624 triliun, kemudian diperkirakan akan naik menjadi Rp1.700an triliun pada 2025 mendatang.  

Internet sudah menjadi keseharian masyarakat kita. Fenomena pemanfaatan internet dalam kehidupan sehari-hari kemudian dikenal dengan Internet of Things (IoT), sebuah konsep adanya konektivitas yang diatur oleh internet melalui perangkat IoT misalnya laptop, smartphone, smartwatch dsb. 

Sementara itu bagi para pemilik bisnis dan pemegang saham, cuan demi cuan terus menghampiri mereka. Saham-saham bank digital naik meskipun tingkat manajemen risikonya masih di kisaran 43%.  

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh International Institute for Management Development (IIMD) World Competitiveness Center pada tahun 2020, peringkat kesiapan talenta digital Indonesia dalam menghadapi transformasi digital berada pada peringkat ke-45, jauh tertinggal dari Singapura di urutan pertama, dan Malaysia yang berada di urutan ke-18.

Pandemi semakin mempercepat pertumbuhan ekosistem digital. Karena berbagai pembatasan fisik dan mobilitas, hampir semua layanan publik dan bisnis masuk ke platform digital. Meski punya lapak fisik, para pedagang tetap menggunakan sosial media untuk berdagang. Setidaknya mempromosikan jualannya lewat salah satu aplikasi atau platform. 

Di sisi lain ada ekses yang harus diantisipasi. Daya tawar para pekerja dan konsumen di bisnis yang menggunakan platform digital potential untuk melemah. Jangan sampai bisnis digital menjadi alat pemodal memeras tenaga pekerja, atau eksploitasi sistem atas manusia.    

Mereka berhadapan dengan sistem yang menguras tenaga dan waktu. Ojol harus mengejar target agar dapat bonus dan penghasilan yang memadai. Berbeda dengan beberapa negara lain status driver ojol adalah mitra bukan pegawai. Mereka tidak mendapatkan gaji tetap. Adalah putusan Mahkaman Agung Inggris dan Italia sebagaimana dikutip dari BBC, Kamis (28/10) bahwa  jika perusahaan ojol belum mengangkat para driver sebagai karyawan, perusahaan akan didenda 733 juta euro (Rp 12,6 miliar). 

Para pegawai bank pun demikian. Jumlah pegawai bank untuk posisi teller semakin sedikit. Kantor-kantor cabang semakin sedikit. Transaksi berpindah ke aplikasi dalam genggaman tangan para nasabah. Bagaimana nasib mereka yang belajar perbankan dan berkarir di bank? Pihak bank hingga hari ini berdalih bahwa mereka telah diarahkan untuk mengisi posisi yang belum ditangani mesin atau atau platform.