Rekonsiliasi Sejati
Begitu banyak pihak yang mendorong agar pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno membangun rekonsiliasi politik. Namun yang terjadi, ternyata masih pura-pura.

DALAM SEJARAH perjalanan bangsa, pemilu 2019 bisa dikatakan memang bukan terburuk. Namun semua juga bisa terima jika pemilu kali ini yang paling memperbesar jurang perbedaan. Itulah kenapa setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengakhiri sidang sengketa hasil Pilpres 2019, ada begitu banyak pihak yang mendorong agar pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno membangun rekonsiliasi politik. Dengan usainya ‘perselisihan politik’, diharapkan para pendukung kedua belah pihak bersatu kembali sebagai warga negara Indonesia.
Sayangnya, dalam proses rekonsiliasi politik tersebut, justru muncul narasi-narasi yang malah mengebiri makna sejati rekonsiliasi politik tersebut. Upaya tersebut misalnya seperti yang disampaikan Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Amanat Nasional, Amien Rais. Dia menginginkan rekonsiliasi terjadi dengan syarat adanya pembagian 55-45.
Amien menyampaikan hal itu dalam sambutan acara ‘Muhasabah dan Munajat untuk Negeri di Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2019). Menurut Amien Rais, jika ingin rekonsiliasi maka harus ditentukan terlebih dahulu platformya.
“Jadi lima tahun ke depan mau diapakan Indonesia ini? Saya bilang Pak Prabowo itu sudah bicara di mana-mana pentingnya kedaulatan pangan, energi, tanah, air. Kalau itu disepakati, misalnya disepakati, ayo bagi 55-45, itu masuk akal," ujar Amien Rais.
Meski apa yang disampaikan Amien Rais bisa saja merupakan kode yang disampaikan untuk internal partainya, seperti dikatakan Wasekjen PDIP, Eriko Sotarduga, bahwa PAN tak mungkin dan tak ingin bergabung dengan koalisi. Namun secara verbal pernyataan tersebut telah mendegradasi makna dari rekonsiliasi yang sejati.
Dalam konteks demokrasi, pernyataan tersebut juga seolah menapikan proses kontestasi elektoral yang telah berkali-kali kita lewati. Ada jutaan orang yang telah berjuang demi tegaknya demokrasi di negeri ini. Tak jarang pula orang ataupun kelompok yang pada akhirnya dengan rela menahan hasrat atau kepentingan politiknya demi tegaknya demokrasi.
Atas jasa dan perjuangan orang terdahulu, maka tak elok kiranya bila tujuan rekonsiliasi semata-mata demi mengakhiri ‘permusuhan’ politik semata. Apalagi dilanjutkan hanya dengan konsensus untuk berbagi kue kekuasan semata.
Rekonsiliasi dalam kontestasi politik yang demokratis tak bisa dimaknai seperti rekonsiliasi pasca konflik atau peperangan yang meniscakan prinsip pengakuan dan distribusi (zwischen Anerkennung und Verteiling). Bahwa korban haruslah diakui sebagai bagian dari sejarah bangsa dan mendapat distribusi kekayaan/kekuasaan.
Sebaliknya, rekonsiliasi harus dimaknai sebagai upaya-upaya menciptakan perdamaian, setelah konflik atau perubahan terjadi. Terutama pasca perhelatan pesta demokrasi. Rekonsiliasi harus mendorong orang untuk percaya pada perubahan sebagai keniscayaan hidup, sambil tetap berfokus pada harkat dan martabat manusia yang menjadi korban dari perubahan tersebut.
Di titik ini, rekonsiliasi juga harus didorong kepada prinsip keterlibatan dan harapan (zwischen beteiligungspartat und hoffnung). Bahwa rekonsiliasi mesti mendorong semua orang untuk menjadi warga negara yang terlibat aktif di dalam masyarakat.
Kenapa begitu? Karena keterlibatan aktif ini akan menentukan karakter masyarakat yang ada. Ini tentu saja berbeda dengan apa yang kita rasakan saat ini. Para elite jelas tengah aktif meneriakan kata rekonsiliasi. Tapi di masyarakat bawah, istilah cebong-kampret nyata-nyata masih dilontarkan dan menjadi pertimbangan dalam pergaulan.
Padahal, keterlibatan aktif dan perdamaian hati inilah yang kelak dapat membawa kesejahteraan pada masyarakatnya.
Agama dan budaya yang menjadi karakter kuat warga Indonesia sesungguhnya menjadi pendorong terkuat dalam proses rekonsiliasi. Agama dan budaya manapun di negeri ini sebetulnya memiliki ide besar tentang rekonsiliasi.
Para ulama besar bahkan sejak lama bahu membahu menulis ribuan bahkan jutaan buku yang menelisik pentingnya kedamaian hati (rekonsiliasi) untuk menjalani hidup. Hatta dalam kesehatan sekali pun. Dikatakan bila sumber segala penyakit dan rahasia kesehatan adalah kualitas hati dan emosi seseorang.
Ya, bila ingin mencapai rekonsiliasi yang paling sejati maka berdamailah sejak dalam hati masing-masing. Karena hanya dengan begitu negeri ini bisa sejahtera, adil, makmur, dan bahagia.