Koperasi dan Momentum Resesi
Nasib koperasi seakan menjadi cermin betapa ideologi ekonomi Pancasila menjadi tumpul dalam implementasi. Keberadaannya sebagai soko guru ekonomi tak jua terwujud bahkan terlindas oleh kekuatan bisnis para pemodal besar. Ekonomi kolektif atau usaha bersama seringkali hanya menjadi jargon dan slogan semata.

MONDAYREVIEW.COM – Nasib koperasi seakan menjadi cermin betapa ideologi ekonomi Pancasila menjadi tumpul dalam implementasi. Keberadaannya sebagai soko guru ekonomi tak jua terwujud bahkan terlindas oleh kekuatan bisnis para pemodal besar. Ekonomi kolektif atau usaha bersama seringkali hanya menjadi jargon dan slogan semata.
Padahal badan usaha koperasi memiliki kekuatan hukum yang setara dengan perseroan, firma atau badan usaha lainnya. Pilihan pada bentuk koperasi nyatanya belum memberikan kebanggaan dan kepercayaan diri para pendiri, pengurus, dan anggotanya. Padahal pilihan bentuk badan usaha seharusnya sesuai dengan tujuan membangun usaha. Sebuah pilihan rasional.
Pendek kata citra koperasi sebagai entitas bisnis yang marginal masih melekat kuat. Tanpa memungkiri bahwa ada kisah sukses beberapa koperasi di Indonesia yang sanggup mengembangkan usahanya dengan baik. Masalah ini secara paradigmatik menyebabkan orientasi pemberdayaan koperasi, baik dari sisi regulasi maupun kebijakan menjadi kurang tepat.
Seperti perusahaan pada umumnya, koperasi memang menjalankan bisnis yang dapat dikembangkan di semua sektor. Dari sektor pertanian, pabrikasi, keuangan, perdagangan, bisnis berbasis platform, hingga di sektor layanan publik.
Koperasi adalah badan usaha yang berbasis orang (people-based) dan merupakan bentuk dari bangun perusahaan yang berbeda secara mendasar dibandingkan dengan bisnis berbasis modal (capital-based).
Lebih luas dari itu, ketidakpahaman masyarakat ini menyebabkan banyak orang terkecoh atau bahkan tertipu oleh koperasi abal-abal. Seperti misalnya investasi bodong berbentuk koperasi, rentenir berbaju koperasi, koperasi yang dibentuk pemerintah secara “topdown” seperti KUD di masa Orde Baru, dan lain sebagainya.
Perbedaannya menjadi sangat mendasar, ketika koperasi itu dibandingkan dengan korporasi atau badan usaha milik negara adalah menempatkan manusia itu sebagai subyek yang supreme, atau utama di atas modal (material).
Di koperasi, orang ditempatkan sebagai subyek dalam menentukan pengambilan keputusan, bukan modal seperti dalam korporasi. Ini dalam praktik diwujudkan dalam bentuk asas satu orang satu suara, dimana setiap orang diakui persamaan haknya.
Jadi berapapun modal orang itu di koperasi tidaklah menjadi dasar pengambilan keputusan koperasi karena setiap orang diakui persamaan haknya.
Praktik paling nyata terjadi di koperasi Klub Sepak Bola FC Barcelona, Spanyol. Para pemilik atau anggota dan juga fansnya sebanyak kurang lebih 170 ribu orang itu memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan atas mosi tidak percaya terhadap presiden klubnya. Ini karena setiap orang dihargai persamaan haknya di perusahaan. Ini juga terjadi dalam praktik koperasi yang “genuine” di seluruh belahan dunia.
Koperasi memang mencari keuntungan, tapi bukan dimaknai untuk berorientasi pada mengejar keuntungan semata bagi investornya seperti pada perusahaan yang cenderung menerapkan konsep “investor driven”. Melainkan bagi kepentingan mengejar manfaat (benefit oriented) bagi seluruh pihak termasuk bagi pemasok, pekerja, dan bahkan konsumennya. Demikian menurut pegiat Koperasi Suroto.
Di tengah pandemi, disadari ataupun tidak jika koperasi diberdayakan secara konsisten, koperasi bisa menjadi angin segar dan solusi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Kesenjangan sosial ekonomi, kerusakan lingkungan akibat motif eksploitasi untuk semata profit, dan kesenjangan dalam bisnis keseharian dapat segera diakhiri dengan model usaha koperasi.
Pandemi ini adalah kesempatan yang baik untuk masyarakat bahwa hidup sehari-hari ternyata tidak bisa lagi digantungkan nasibnya pada segelintir orang pemilik modal.
Koperasi adalah praktik paling nyata demokrasi dapat bekerja dalam ruang hidup keseharian. Koperasi juga terbukti dalam setiap krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara yang kuat justru mampu berfungsi sebagai rompi pengaman masyarakat ketika korporasi swasta kapitalis tumbang.
Penelitian ILO pada 2010 menyatakan bahwa banyak koperasi justru bertumbuh positif karena kesadaran masyarakat yang menganggap penting untuk mengontrol investasi mereka di tangan mereka sendiri ketika korporasi besar berbasis modal mulai tumbang dan hanya andalkan bantuan talangan pemerintah (bailout).
Ini justru menjadi kesempatan yang baik ketika importasi terhambat maka seharusnya sektor ekonomi domestik dan lokal terutama pangan dan energi terbarukan dikembangkan melalui koperasi.
Prinsip Kemandirian
Suroto yang juga praktisi koperasi meyakini bahwa koperasi adalah “self-regulated organization”, atau usaha yang diatur oleh diri mereka sendiri yang diturunkan dari nilai-nilai dan prinsip utama mereka untuk mandiri.
Ia menyarankan agar pemerintah sebaiknya hanya menjadi regulator yang baik dan merekognisi praktik berkoperasi yang terbaik di kalangan masyarakat dan memberikan kebijakan afirmatif.
Praktik kebijakan yang terlalu mengintervensi hanya akan menghambat upaya pengembangan koperasi. Contoh paling nyata adalah KUD di masa Orde Baru.
Paradigma masyarakat dalam melihat koperasi juga saatnya dirombak total. Ini persoalan citra koperasi yang harus diubah dari anggapan usaha yang lemah, kecil, atau gurem menjadi usaha yang kompetitif dan berdaya saing.
Salah satu yang bisa dilakukan tak lain dengan merivisi kebijakan termasuk UU Perkoperasian dan beberapa regulasi lain yang ternyata telah mengkerdilkan peran koperasi.
Di Amerika Serikat, koperasi mendapatkan peran ekonomi yang cukup besar, bahkan sebagai negara yang dianggap kapitalistik, koperasi mendapatkan peran sebagai pengelola listrik mulai dari bisnis infrastruktur sampai dengan distribusinya melalui National Rural Electricity Cooperative Association (NRECA) yang beroperasi di seluruh negara bagian.
Contoh lain, rumah sakit terbesar di kota Washington itu adalah koperasi dalam bentuk Group Health Cooperative (GHC).
Ada lagi Fonterra Co-operative Group Limited. Ini adalah koperasi susu multinasional Selandia Baru yang dimiliki oleh 10.600 peternak Selandia Baru. Perusahaan ini menguasai 30% ekspor produk susu dunia dan dengan pendapatan mencapai NZ$19.87 miliar menjadikannya perusahaan terbesar di Selandia Baru.
Pada tahun 2013, perusahaan ini diguncang isu mengenai keberadaan bakteri penyebab botulisme di dalam produk susunya. Namun Kementerian Industri Primer Selandia Baru telah mengumumkan hasil pengujian laboratorium yang menunjukkan kekeliruan Fonterra mengidentifikasi bakteri, yang ternyata tidak mengancam kesehatan.
Maka pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM sebagai lokomotif utama pemberdayaan koperasi pun diharapkan agar mampu melakukan tindakan afirmatif untuk memecah kebekuan dan menjawab tantangan pertanyaan mengapa koperasi sulit berkembang di Indonesia.
Sebab secara sistem koperasi sejatinya sudah menjalankan salah satu prinsip kemandiriannya untuk menciptakan keadilan ekonomi.