Ketergantungan Manusia

MONITORDAY.COM - Manusia sejak awal mula penciptaannya sudah diselimuti mantel kelemahan. Sarat akan kekurangan. Mulai dari ditopang di perut ibundanya selama 9 bulan. Kemudian hal yang pertama dilakukannya di dunia adalah teriak seraya meneteskan air mata. Bahkan hal terakhirnya pun di dunia tiada lain menunjukan bahwa diri mereka adalah makhluk lemah. Ini dalam perkara duniawi saja, belum perkara ukhrawi.
Allah SWT berfirman: “…dan manusia diciptakan (dalam keadaan) lemah.” (Q.S An-Nisa: 28)
Berkata mufasir kontemporer ternama, Syeikh Muhammad Ali Ash-Shobuni Ra dalam tafsirnya pada ayat ini: “Yaitu lemah untuk menyelisihi dan tidak sabar untuk selalu ingin mengikuti hawa nafsunya.”
Manusia itu lemah, baik dari luar maupun dalam, sehingga perlu sekali bagi mereka untuk menggantungkan diri mereka kepada sesuatu yang bisa menjamin keselamatan mereka di dalam mengarungi bahtera kehidupan mereka. Sesuatu yang kuat secara mutlak, tidak ada lagi kekuatan di atas kekuatan-Nya. Tapi seribu tapi, karena memang dasarnya lemah, sarat akan kekurangan, mereka seringkali salah menggantungkan hidup mereka.
Banyak sekali kita temukan, kebanyakan insan hari ini, begitu bergantung sekali kepada amal perbuatan mereka, baik secara duniawi umumnya, maupun ukhrawi khususnya. Contohnya,berapa banyak sih dari kita yang mati-matian seleksi masuk universitas, pergi pagi pulang pagi, hanya untuk pergi ketempat les. Atau yang lain,- tadi jomblo sekarang pasangan-seorang kepala keluarga pergi pagi pulang pagi hanya untuk mengais rezeki (jangan nyanyi ya). Banyak sekali. Lho bukannya itu bagus, ada usaha untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, terus apa masalahnya?
Memang betul yang demikian merupakan bagian dari ikhtiar, tapi ikhtiarnya belum sempurna jika kita masih menggantungkan hasilnya pada perbuatan kita. Dan disinilah masalahnya. Secara tidak langsung kita akan merasa berhak mendapatkan hal yang kita perjuangkan selama standar untuk mendapatkannya terpenuhi.
Pelajar yang belajar 24 jam sehari atau si ayah yang bekerja 24 jam sehari -dengar-dengar kemarin ada pekerja rakyat bilang bahwa kerja mereka 24 jam sehari, bahkan tidurnya juga dihitung kerja katanya-, pasti akan merasa berhak mendapatkan hasil yang diharapkan. Karena mereka sudah mati-matian untuk mendapatkannya, dan ketika tidak mendapatkannya, tak sedikit juga orang yang mati beneran. Bunuh diri misalkan karena depresi.
Perasaan berhak inilah yang menjadi masalah, darinya akan muncul ketidakridhaan akan ketentuan dan ketetapan yang telah Allah tetapkan. Karena seluruh alam semesta ini berada dalam genggaman qadha dan qadar Allah. Dan alam qadha dan qadar adalah alam hikmah, lazim bagi tiap insan tafakkur dan tadabbur di dalamnya.
Mana yang akan terjadi, apakah yang kita inginkan atau yang Allah inginkan? Imam Syafi’i Ra berkata: “Apa yang Kau hendaki terjadi walau ku tak ingin? Dan yang ku hendaki jika Engkau tak ingin tak terjadi.”
Imam Abu Barakat Ra berkata dalam mandzumahnya: “Segala sesuatu yang berkaitan dengan Qadha dan Qadar. Dan semua yang ditakdirkan tidak memiliki jalan keluar.”
Doktor Rabi Jauhari Hafizahullah, mantan dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo dalam menjelaskan bait ini beliau berkata: “Yaitu keharusan terjadinya sesuatu sesuai yang Allah ketahui dan kehendaki, dan tidak ada baginya jalan keluar. Maka wajiblah untuk bersabar dan menerima atas apa yang telah ditetapkan Sang Maha Mengetahui dan Bijaksana, jika tidak sabar dan malah menentang maka ia akan rugi di dunia dan di akhirat dan tidak baginya penolong yang akan menolongnya.”
Memang ikhtiar untuk mewujudkan sesuatu itu adalah perkara yang baik. Dan hal tersebut menjadi bagian Akhdu bil Asbab tapi belumlah sempurna ikhtiar seseorang jika belum bertawakkal kepada Allah. Makna Tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah. Dan orang yang tawakkal selalu ridho akan hasil yang akan didapatnya di penghujung penantiannya.
Yang demikian dalam perkara duniawi, bersambung ke perkara ukhrawi. Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari Ra dalam Hikamnya berkata: “Diantara ciri bergantung pada amal, berkurangnya harapan ketika terjadi kesalahan”.
Dalam ibadah, kita masih banyak menemukan seorang hamba melakukan transaksi di dalamnya, bahkan bisa jadi diri kita pun termasuk di dalamnya. Transaksi bagaimana, yaitu dengan membeli surga dengan amal baik yang kita perbuat. Ini diantara ciri orang yang bergantung pada amalannya. Mereka bergantung pada amalan untuk meraih surga Allah. Dan ketika terjadi kesalahan atau tidak beramal, maka hilanglah harapan tadi. Misal ketika ditanya, “Kenapa sih kamu sholat?”, jawabannya seringkali kita temukan adalah “Untuk masuk surga.”
Yang demikian tidaklah benar, sebab hubungan antara kita dengan Allah bukanlah hubungan antara penjual dan pembeli, melainkan antara Tuhan dan hamba.
Dan secara hukum logika pun tidak bisa diterima sebab jika hubungan antara kita dengan Allah itu seperti hubungan jual beli. Maka Allah harus menyerahkan surga bagi yang memiliki amalan. Dan sesuatu yang diharuskan oleh sesuatu itu lemah, berarti Allah itu lemah. Akhirnya, qiyas ini batal, dikarenakan premisnya sejak awal sudah salah, maka yang betul adalah lawan dari premis minor, yaitu hubungan kita dengan Allah bukan layaknya hubungan jual beli.
Apakah benar kita masuk surga dengan amalan kita? Rasulullah Saw bersabda: “Tidak seorang pun dari kalian dapat diselamatkan oleh amalnya. Para sahabat bertanya, “Tidak juga dengan engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, begitupun denganku, akan tetapi Rabb-ku telah melimpahkan ampunan dan rahmat-Nya kepadaku” (HR. Ahmad)
Seakan sepele bukan, tapi yang namanya keyakinan tetap keyakinan, salah sedikit saja bisa berakibat fatal. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa ini masih banyak terjadi diantara kita. Keyakinan bahwa amalan kita bisa membawa kita ke surga. Sekali lagi bukan, melainkan rahmat Allah SWT. Dan amalan baik merupakan salah satu cara untuk mendapat ridho Allah SWT.
Keridhaan inilah yang begitu diharapkan oleh yang mengerti akan kebenaran. Bahkan dikatakan bahwa seorang sufi tidak peduli dirinya masuk neraka, asalkan Allah ridho padanya. Dan bahkan ada juga yang tidak senang masuk surga karena disana ia tidak akan lagi menyembah-Nya, dll terkait kisah antara seorang hamba dalam beribadah kepada Allah. Mereka mendedikasikan semuanya hanya untuk Allah semata.
Dimana kita dibawah payung firman Allah yang berbunyi: “…Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku?” Juga kalimat “Laa ilaaha illa Allah?” Kemudian “Laa haula wa laa quwwata illa billah?”
Yang demikian bisa membakar, bahkan merusak pekarangan kita dalam beribadah kepada Allah Swt. Terakhir, Imam Syafi’i Ra sekali lagi berkata dalam diwannya:
Aku berserah jika Allah menginginkan suatu perkara,
maka aku tinggalkan keinginanku diatas keinginan-Nya.
Dan tidaklah keinginanku memiliki suatu pandangan,
jika Allah menginginkan bagiku apa yang tak kukehendaki.
Tabik! Kairo, 29 Agustus 2021
Penulis: Fathi Fathurrahman Saputa, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.
Editor: Renada Zulfah Aulia