Isra Miraj: Cermin Ideal Perjalanan Hidup Manusia

Isra Miraj: Cermin Ideal Perjalanan Hidup Manusia
Ilustrasi langit pada malam hari

MONITORDAY.COM - Bulan Rajab merupakan salah satu bulan haram (yang dihormati) dari empat bulan (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab) yang ada dalam kalender hijriah. Sebuah peristiwa yang sangat luar biasa di alami oleh Rasulullah SAW pada bulan ini, yaitu : “Peristiwa Isra  Miraj”.

Peristiwa ini, diabadikan dalam al-Qur’an pada ayat 1 suran Al Isra’ [17] dan surat an-Najm [53] seperti tersirat pada ayat 1-14.

Setelah peristiwa Isra  Miraj ini, kondisi psikologis Rasulullah dan sikap yang ditunjukkan oleh penduduk Makkah diilustrasikan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ra yang diterima dari Siti Aisyah ra. Rasulullah bersabda: ”Pada waktu malam saya di Isra’kan dan pagi-pagi saya berada di Makkah, saya tahu bahwa orang-orang tidak mau membenarkanku”.

Ketika beliau sedang duduk dengan perasaan sedih, Abu Jahal lewat didepannya dan menghampirinya kemudian bertanya dengan nada mengejek:”Adakah sesuatu yang engkau anggap penting?’. Rasulullah menjawab: ”semalam saya di Isra’kan”. “Kemana?” tanya Abu Jahal. “Ke Baitul Maqdis” Jawab Rasulullah. ”Kemudian pagi ini engkau sudah ada di lingkungan kami” tanya Abu Jahal lagi. “Ya” jawab Rasulullah. Lalu Abu Jahal bertanya: ”Bersediakah engkau menyampaikan kepada kaummu tentang apa yang telah engkau sampaikan kepadaku itu?”. bersedia” Jawab Rasulullah.

Kemudian Abu Jahal memanggil penduduk Makkah : “Wahai orang-orang Bani Ka’ab bin Layin datanglah kemari”. Serta merta merekapun berkumpul, lalu Rasulullah menyampaikan kepada kaumnya apa yang sudah disampaikan kepada Abu Jahal.

Setelah Rasulullah menyampaikan peristiwa tersebut, diantara kaumnya ada mempercayainya karena yang menyampaikan Muhammad Saw. Dia adalah seorang “al-Amin” seperti yang di tunjukkan oleh Abu Bakar ra. Sebagian yang lainnya meragukan, bahkan sebagaian besar  mengingkarinya termasuk seperti Abu Jahal.

Sikap menerima, meragukan, dan menolak peristiwa Isra’  Miraj yang dialami Rasulullah Saw ini berlangsung sampai saat ini, bahkan mungkin sampai akhir zaman. Diantara alasan mereka yang meragukan dan yang mengingkarinya yaitu:”tidak logis atau tidak masuk akal”.

Banyak dalih yang menjadi alasan tidak masuk akal, antara lain: peristiwa itu terjadi di luar kebiasaan; Kendaraan apa yang digunakan untuk perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dengan waktu yang singkat itu; Apakah Rasulullah melakukan perjalanan itu secara ruhaniah saja atau secara utuh jasad dan ruhaninya. Bagi penduduk Makkah saat itu boleh jadi pendekatan logis belum mampu dijadikan sarana untuk memahaminya mengingat kondisi keilmuan dan teknologi belum memadai.

Secara Ilmiah ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam rangka memahami, meyakini dan, memaknai suatu  peristiwa atau fenomena yang dialami manusia dan terjadi di alam. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain, pendekatan logis, pendekatan analogis, dan pendekatan kontekstual.

Secara praktis pendekatan itu dapat digunakan secara bersama-sama atau secara terpisah. Pendekatan analogis biasanya dipilih dalam upaya memahami suatu peristiwa atau fenomena alam ketika pendekatan logis tidak mampu mengurainya.

Melalui pendekatan analogis dalam memahami peristiwa Isro’  Miraj, Buya Hamka pernah bercerita tentang lalat di Bandara. Lalat itu hinggap pada gelas yang berisi susu yang diminum seorang penumpang yang berada diruang tunggu menunggu keberangkatan. Ketika penumpang itu akan naik pesawat (boarding), lalat itu hinggap pada pakaian penumpang itu dan ikut terbang ke Singapura.

Ketika pesawat itu balik lagi ke Jakarta lalat itu ikut lagi. Setelah sampai di Jakarta lalat itu bercerita kepada lalat-lalat yang masih berkumpul di Bandara itu, bahwa ia baru saja kembali dari Singapura. Lalat-lalat  yang lain mengatakan tidak masuk akal karena kemampuan terbang lalat itu hanya beberapa kilometer saja. Bagaimana mungkin ia terbang bolak-balik Jakarta-Singapura dalam waktu singkat.

Melalui surat al-Isra ayat 1 Allah berfirman: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS.al-Isra [17]:1).

Bila kita bandingkan antara analogi  Buya Hamka  dengan petikan ayat 1 surat al-Isra [17] nampak gambaran yang jelas mengapa Rasulullah dapat melaksankan Isra’ dan  Miraj dalam waktu yang sangat singkat, meskipun jarak antara Mesjidil Haram dan Mesjidil Aqsa sangat jauh.

Alloh Swt yang memperjalankan Rasulullah dalam peristiwa Isra’ adalah Dzat yang Maha Pencipta, Maha Pemelihara, dan Maha Pengatur. Proses pemeliharaan dan pengaturan ciptaan-Nya dilakukan melalui sistem yang telah dirancang-Nya.  Dia berkuasa untuk melakukan apapun sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan-Nya.

Bukankah Dia telah mencipatakan Nabi Adam As tanpa ayah dan ibu serta Nabi Isa As hanya dengan perantaraan Ibu saja. Dan Alloh berfirman: Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu”.(QS.Ali Imran [3]:59).

Isra’ (perjalanan malam) Rasulullah Saw diawali dari Mesjidil Haram yang berada di Timur menuju Mesjidil Aqsa yang berada di Barat. Selama perjalanan malam tersebut Alloh Swt memberkahi sekelilingnya.

Secara diametral Timur dan Barat merupakan dua kutub yang berbeda. Orientasi Barat (yang lebih di dominasi pengaruh pemikiran orang-orang Yahudi) terpokus pada rasionalitas, dengan demikian fungsionalisasi akal menjadi sangat dominan. Dominasi fungsionalisasi akal ini melahirkan Ilmu dan Teknologi yang mumpuni. Ekpektasinya dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. Hanya saja, kesejahteraan  yang dicapainya masih bersifat lahiriah.

Orientasi Timur lebih didominasi Mistisisme (para nabi lebih banyak di utus di dunia Timur), dengan demikian fungsionalisasi hati menjadi sangat dominan. Konsekwensi logis dari fungsionalisasi hati adalah ketertinggalan penguasaan Ilmu dan Teknologi. Ekspektasi Timur dan Barat identik, yaitu mewujudkan kesejahteraan manusia tetapi kesejahteraan yang diperoleh dunia Timur lebih bersifat batiniah.

Perjalanan malam Rasulullah Saw yang diberkahi boleh jadi isyarat. Betapa pentingnya menyatukan Barat dan Timur agar terbangun sinergitas. Betapa pentingnya menyatukan akal dan hati secara utuh pada setiap individu. Betapa pentingnya memadukan ilmu, teknologi, dan agama. Kesatuan Ilmu, Agama, dan Teknologi secara paripurna menjadi sarana dalam mewujudkan kesejahteraan manusia baik secara lahir maupun batin. Kesejahteraan lahir dan batin ini dengan sendirinya dapat menjadi wahana untuk mewujudkan keberkahan bagi lingkungannya. Dan, kesejahteraan inipun dengan sendirinya akan mengangkat harkat dan martabat manusia pada kedudukan tinggi.

Perjalanan malam Rasulullah Saw tidak berhenti di Mesjidil Aqsa, tetapi seperti yang tersirat dalam surat an-Nazm [53] ayat 1-14, perjalanan malam itu dilanjutkan dengan  Miraj sampai dengan Sidratul Muntaha.

Di Sidratul Mutaha beliau menyaksikan kebesaran Alloh Swt yang meliputi langit dan bumi. Rasulullah ditengah kekagumannya beliau mengucapkan penghormatan kepada Alloh Swt: “Attahiyyatul mubarokatush shalawatuth thayibatul lillah”. Segala Penghormatan, kemulyaan,  keberkahan, keagungan, dan kebaikan kepunyaan Allah saja. Kemudian Allah Swt menyambut ungkapan kekaguman Rasulullah dengan ucapan:“Assalamualaika ayyuhan nabi warahmatullahi wabarokatuh”. Keselamatan untukmu wahai nabi serta rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Ditengah kegirangan menerima ucapan salam dari Alloh Swt, Rasulullah  memohon kepada Alloh: “Assalamu ‘alaina wa ala’ibadillahish shalihin“. Selamatkan pula kami beserta hamba-hamba Alloh yang sholeh. 

Refleksi kepribadian yang agung dari Rasulullah nampak jelas dalam dialog tersebut.Setelah mendapatkan ucapan salam dari Alloh Swt, beliau tidak menginginkan keselamatan serta rahmat Alloh dan keberkahan itu hanya miliknya sendiri tetapi belau menginginkan agar Alloh Swt memberikan juga kepada umatnya yaitu kalangan hamba-hamba Alloh yang sholeh.

Pada saat kembali dari Isra’ Miraj Rasulullah bersama umatnya mendapat kewajiban untuk melaksanakan sholat lima waktu sebagai sarana untuk merefleksikan kehambaan dan menjalin komunikasi intensif dengan Alloh Swt. Melalui sholat diharapkan terjamin keselamatan, rahmat Alloh, dan Keberkahan-Nya. Dialog antara Alloh Swt dengan Rasulullah Saw ini di abadikan dalam bacaan sholat yang dilakukan oleh ummatnya.

Peritiwa Isra  Miraj Rasulullah Saw mengisyaratkan perjalanan hidup manusia di dunia ini dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang penuh berkah. Unsur terpenting dalam mewujudkan kesejahteraan yang penuh berkah adalah melalui fungsionalisasi akal dan hati secara paripurna. Wallohu’alam bi showab.