Keringanan Vonis Juliari Batubara Jauh dari Nilai Keadilan

MONITORDAY.COM - Majelis hakim menjatuhkan vonis penjara 12 tahun kepada eks Menteri Sosial Juliari P Batubara terkait tindak pidana korupsi bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19. Vonis ini mendapat keringanan atas pertibangan bahwa Juliari banyak mendapat cacian dan hinaan dari masyarakat.
Atas vonis ini, banyak pihak yang memandangnya tidak adil. Ketua Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah,Trisno Raharjo menilai vonis tersebut masih jauh dari nilai keadilan, karena kasus korupsi yang dilakukan Juliari terjadi saat masyarakat tengan mengalami kesulitan akibat pandemi.
"Tuntutan dan putusan hakim ini masih jauh dari yang kita lihat, dari tanggung jawab besar yang harus dilakukan. Menurut saya ini masih jauh dari nilai keadilan apa yang ada dan muncul," kata Trisno, kepada wartawam, dikutip Rabu (25/8/2021).
Trisno menambahkan, hal tersebut ditambah dengan Juliari sama sekali tak meminta maaf kepada masyarakat luas karena tindakan yang dilakukannya tersebut. "Hal itu menandakan bahwa Juliari tak memiliki kepedulian terhadap masyarakat yang terdampak pandemi," lanjut dia.
Dalam nota pembelaannya, Juliari hanya meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo, dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, dan meminta agar dibebaskan dari hukuan. "ini seolah-olah masyarakat enggak perlu dimintai maaf," kata Trisno.
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana mengatakan, vonis yang dijatuhkan kepada mantan eks politisi PDIP itu benar-benar tidak masuk akal dan semakin melukai hati korban korupsi bansos.
“Betapa tidak, melihat dampak korupsi yang dilakukan oleh Juliari, ia sangat pantas dan tepat untuk mendekam seumur hidup di dalam penjara,” ujar Kurnia.
Bagi ICW, ada empat argumentasi yang dapat disampaikan untuk mendukung kesimpulan bahwa Juliari harus dihukum seumur hidup penjara. Pertama, Juliari melakukan kejahatan saat menduduki posisi sebagai pejabat publik. Sehingga berdasarkan Pasal 52 KUHP hukuman Juliari mesti diperberat.
Kedua, praktik suap bansos dilakukan di tengah kondisi pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan betapa korupsi yang dilakukan Juliari sangat berdampak, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan, terhadap masyarakat.
Ketiga, hingga pembacaan nota pembelaan atau pledoi, Juliari tak kunjung mengakui perbuatannya. Padahal, dua orang yang berasal dari pihak swasta, Ardian dan Harry, telah terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap Juliari.
Keempat, hukuman berat bagi Juliari akan memberikan pesan kuat bagi pejabat publik lain agar tidak melakukan praktik korupsi di tengah situasi pandemi Covid-19. “Berangkat dari hal ini, maka semakin lengkap kebobrokan penegak hukum, baik KPK maupun pengadilan, dalam menangani perkara korupsi bansos,” ujar Kurnia.
Lebih lanjut Kurnia mengatakan. alasan meringankan yang dibacakan majelis hakim pengadilan tipikor kepada Juliari P Batubara terlalu mengada-ngada. Betapa tidak, majelis hakim justru menyebutkan Juliari telah dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat.
“Ekspresi semacam itu merupakan hal wajar, terlebih mengingat dampak yang terjadi akibat praktik korupsi Juliari. Bayangkan, praktik suap menyuap itu dilakukan secara sadar oleh Juliari di tengah kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat ambruk karena pandemi Covid-19,” jelas Kurnia.
ICW menyebut, cercaan, makian, dan hinaan kepada Juliari tidak sebanding dengan penderitaan yang dirasakan masyarakat karena kesulitan mendapatkan bansos akibat ulah mantan mensos dan kroni-kroninya. “Dari putusan ini masyarakat kemudian dapat melihat bahwa proses penegakan hukum belum sepenuhnya berpihak kepada korban kejahatan,” tandasnya.