Kemacetan, Antara Politik dan Kepentingan Warga
Kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan untuk menata Jakarta kerap memancing kontroversi. Kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta harus diselesaikan secara terintegrasi, tanpa intervensi kepentingan politis.

MONDAYREVIEW, Jakarta –Siapa pun yang menjadi gubernur DKI Jakarta, akan sulit mengurai kemacetan ibu kota? Ungkapan pesimis itu mungkin ada benarnya, walaupun tidak boleh menutup berbagai inisiatif untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Kebijakan Gubernur Anies Rasyid Baswedan untuk menata kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat misalnya masih menyulut banyak protes, termasuk dari fraksi PDIP di DPRD. “jangan dipolitisasi, karena penataan Tanah Abang insya Allah untuk kebaikan semuanya," kata Anies.
Kekisruhan di Tanah Abang akibat demo yang dilakukan sejumlah sopir angkot yang menuntut Jalan Jatibaru kembali dibuka. Akibat demo itu, Bus Transjakarta Tanah Abang Explorer harus berhenti beroperasi. Sejak penutupan jalan itu, mereka mengaku pendapatannya menurun, karena penumpang beralih ke Bus Transjakarta Explorer yang gratis.
Namun, Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Shafruhan Sinungan menyebut ada oknum tertentu yang mengancam sopir angkot jika tidak ikut aksi demo di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ia mengklaim mendapat informasi langsung dari sopir.
Kecurigaan yang sama disampaikan Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lunggana alias Haji Lulung juga menganggap aksi sopir angkot yang memblokir jalur Bus Transjakarta di Tanah Abang 'ditumpangi' oknum tertentu. Ia menilai itu dari indikasi adanya inkonsistensi atau permintaan sopir angkot yang berubah-ubah."Dari kemarin sampai sekarang beda lagi, sekarang pokoknya PKL Jatibaru itu pergi, jangan berdagang lagi. Kemarin mereka minta ke atas (melewati fly over), kan saya yang turun (ke lapangan). Kalau saya suudzon itu 'ditumpangi'," kata Haji Lulung
Tuntutan sopir angkot agar Jalan Jatibaru kembali dibuka sedang dibicarakan dengan berbagai pihak Bahkan, Rabu kemarin (31/1) Pemprov mengundang para sopir angkot ke Balai Kota untuk 'ngopi' mendengar aspirasi dari mereka. Rencananya, para supir akan kembali diundang ke Balai Kota pada Jumat besok untuk mencarikan solusi yang terbaik. Wagub DKI Sandiaga Uno berjanji akan memberikan solusi alternatif, bukan dengan membuka Jalan Jatibaru sesuai keinginan para sopir, tapi dengan mengembalikan pendapatan sopir angkot seperti semula.
Sejak kebijakan penutupan Jalan Jatibaru, Dirlantas menyebutkan adanya peningkatan kemacetan sebanyak 60 persen di kawasan Tanah Abang. Sedangkan, data yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan kenaikan kemacetan berkisar 12 persen jika dibandingkan sebelum adanya penataan kawasan Tanah Abang. Ia mengklaim, jika dilihat dari periode kritis, yaitu antara Oktober hingga Desember, justru terjadi penurunan.
Data mana yang paling valid? Terlepas dari itu, kemacetan menjadi persoalan serius di DKI Jakarta, seperti yang dirilis Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) dalam Refleksi 2017 dan Outlook 2018 Transportasi Jakarta. “Di 2017 masalah utama kemacetan lalu lintas masih mendominasi. Dan di 2018, saya perkirakan kondisinya masih sama karena banyaknya pembangunan," ujar Ketua DTKJ Iskandar Abubakar.
DTKJ memberi beberapa rekomendasi prioritas yang perlu dijalankan Pemprov DKI Jakarta untuk mengurai kepadatan di jalanan Ibu kota. Pertama pengalihan rute angkutan secara menyeluruh sebelum beroperasinya Angkutan Umum Masal MRT, LRT Kelapa Gading-Velodrome, LRT Jabodebek.“Di 2018 ini harus ada rerouting sebelum MRT dan LRT beroperasi di 2019," kata Iskandar. Alih rute mesti segera dilakukan guna menghindari penumpukkan penumpang akibat adanya masa tenggang kosong atau waktu tunggu angkutan yang terintegrasi ke angkutan massal berbasis rel tersebut. Selain itu, harus diterapkan Standar Pelayanan Minimal dalam perencanaan rute angkutan , dalam rangka memenuhi kebutuhan transportasi umum di DKI Jakarta yang dinamis dan penggunaan ITS (Intelligent Transportation System).
Pemprov DKI diminta meninjau ulang pola pembiayaan operator angkutan yang tidak harus selalu buy the service seperti yang sekarang dilakukan PT. Transjakarta, tetapi dapat dikembangkan pola lain seperti pola gross contract (borongan per wilayah) untuk daerah dengan demand transport rendah dan belum membutuhkan layanan yang berkelanjutan dan berfrekwensi tinggi. Perbaikan kualitas armada kendaraan angkutan umum juga perlu dilakukan dengan tidak melulu berdasar pada pembatasan umur kendaraan, tetapi juga melalui perbaikan sistem pengujian laik jalan.
Transportasi umum yang terintegrasi dan pelayanan yang baik menguntungkan masyarakat. Warga tidak perlu lagi membayar mahal untuk transportasi. Masyarakat pun diharapkan beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum, sehingga bisa mengurangi kemacetan di Jakarta.
Menata ibukota yang sudah semrawut ini tidak semudah membalikan tangan. Satu kebijakan terkadang memberikan dampak positif bagi sebagian warga, namun berakibat negatif bagi warga yang lain. Sebuah kebijakan tidak untuk menyenangkan semua pihak, tapi menata sebuah kawasan menjadi lebih baik, yang dalam jangka panjang akan dinikmati manfaatnya oleh semua pihak.
[elbach]