Dana Asing Untuk LGBT

Rancangan KUHP yang salah satunya memuat pemidanaan perilaku LGBT menjadi sorotan publik. Lembaga PBB dan Para Duta Besar Uni Eropa berusaha mempengaruhi DPR.

Dana Asing Untuk LGBT
kampanye anti LGBT

MONDAYREVIEW.COM - Upaya berbagai pihak di Indonesia dalam mempidanakan perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Indonesia tidak berjalan mulus. Penolakan terhadap LGBT yang umumnya berasal dari masyarakat sipil baik perorangan maupun organisasi terkait kerap mendapat perlawanan dari sejumlah aktivis pro LGBT.

 

Salah satu organisasi yang vokal dalam menolak LGBT adalah Aliansi Cinta Keluarga (AILA). Sejak 2016, AILA memperjuangkan perluasan makna zina dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan uji materil/judicial review (JR) Pasal Kesusilaan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, rentang waktu masa sidang terbilang cukup lama, yakni satu tahun lebih dengan total 23 kali persidangan.

 

Seteleh proses panjang tersebut, hasilnya MK menolak JR tiga pasal yang diajukan AILA, yakni Pasal 284, 285 dan 292 terkait perzinahan, perkosaan dan perbuatan cabul sesama jenis. Dalam amar putusannya, majelis hakim yang dipimpin Arief Hidayat menilai bahwa pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Hakim lantas berdalih bahwa pemohon seharusnya menemui lembaga pembuat undang-undang dalam hal ini DPR untuk memperluas makna zina di KUHP.

 

Bola panas LGBT yang dianggap perilaku menyimpang itu pun kemudian bergulir di DPR lewat Rancangan KUHP. Ketua MPR, Zulkifli Hasan bahkan sempat "merangsang" kesadaran publik dengan pernyataan kontroversialnya soal lima fraksi di DPR mendukung LGBT, dimana akhirnya memicu pro kontra yang sangat keras.

 

Pernyataan Zulhas lantas dipandang sebagai peringatan serius bahwa gerakan LGBT sudah mulai memasuki fase akhir menuju legalisasi di DPR. Ia juga dinilai telah membuat anggota DPR yang terlibat dalam panitia kerja (Panja) RKUHP keluar dari "persembunyiannya". Meski kebenaran akan ucapan Zulhas itu sempat dipertanyakan, namun hal itu terlanjur meningkatkan kesadaran publik soal LGBT.

 

Hal itu seperti dikatakan Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris bahwa mencuatnya isu LGBT turut andil dalam penyusunan RKUHP. Ia menuturkan hikmahnya publik jadi mengetahui sikap sejumlah fraksi dan partai politik soal LGBT, dimana menurutnya mayoritas telah menyampaikan di berbagai media untuk menolak LGBT dan menyetujui adanya pemidanaan.

 

Ketua DPR, Bambang Soesatyo juga memastikan penolakan perilaku LGBT saat menemui Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ma'ruf Amin. Saat ini, aturan mengenai LGBT terdapat dalam Pasal 495 RKUHP. Namun, DPR dan Pemerintah belum sepakat lantaran terjadi perdebatan seputar ketentuan pemidanaan bagi orang yang melakukan perbuatan cabul sesama jenis di depan umum. Hal itu membuat Pasal LGBT tertunda ke tingkat Panja.

 

Begitu krusialnya isu LGBT di Indonesia sampai membuat badan dunia sekaliber Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus turun tangan dalam "menghadang" upaya pemidanaan. Diantaranya dengan kedatangan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (KT HAM) PBB, Zeid bin Ra'ad Zeid Al-Hussein. Ia menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat pada awal Februari ini (6/2/2018) dan meminta agar kaum LGBT tidak didiskriminasi.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Fraksi PKS DPR, Sukamta mengatakan Indonesia sejak awal merdeka tidak pernah melakukan diskriminasi terhadap kaum tertentu. Namun,  perilaku LGBT telah menyebabkan kerusakan moral yang sangat dahsyat bagi generasi muda. "Maka, pelarangan dan sanksi bagi pelaku LGBT bukan merupakan tindakan diskriminasi. Ini adalah tindakan hukum untuk mencegah kerusakan timbul di masyarakat," ucapnya.

 

Sejumlah Duta Besar negara-negara Uni Eropa di Indonesia telah melangsungkan pertemuan tertutup dengan Komisi III dalam menolak pemidanaan terhadap LGBT. Para Dubes khawatir bila Pasal LGBT dalam RKUHP disahkan. Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond Junaidi Mahesa membenarkan adanya pertemuan tersebut, dimana menurutnya hal itu dilakukan sebagai tugas dan fungsi kedewanan, yakni mendengarkan masukan dari masyarakat. Namun, bukan berarti DPR harus mengikuti tuntutan para dubes itu.

 

Gerakan LGBT memang diyakini mendapat kucuran dana asing. Sebuah badan PBB, United Nations Development Programme (UNDP) dilaporkan mengucurkan dana Rp 108 Milyar untuk mendukung LGBT di Indonesia dan tiga negara Asia lainny, yakni Cina, Filipina dan Thailand. Badan  ini juga menjalin kemitraan regional dengan Kedutaan Swedia di Bangkok, Thailand dan USAID. Disampaikan dalam situs resminya pada Jumat (12/2/2016) UNDP menyebut inisiatif itu dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan kaum LGBT dan mengurangi ketimpangan atau marginalisasi atas dasar orientasi seksual dan identitas gender (SOGI).

 

UNDP menyatakan bahwa proyek yang dinamakan The Being LGBT in Asia Phase 2 Initiative (BLIA-2) ini dimulai pada Desember 2014 hingga September 2017. Hasil yang ingin dicapai salah satunya adalah meningkatnya kemampuan organisasi-organisasi untuk secara efektif memobilisasi, menyokong dan berkontribusi dalam dialog-dialog kebijakan dan aktivitas pemberdayaan kaum LGBT.

 

Di Indonesia, tokoh yang menyuarakan ini diantaranya mantan Ketua MK, Mahfud MD. Ia menegaskan walaupun LGBT resmi dibiayai UNDP, Indonesia tidak boleh tinggal diam. Mahfud menyerukan perlawanan terhadap pembiayaan itu melalui undang-undang. Menurutnya, bila DPR menyetujui perilaku LGBT, maka artinya DPR menerima bayaran itu.

 

Penolakan terhadap masuknya dana asing untuk melegalkan LGBT di Indonesia juga muncul dari Ormas Islam Muhammadiyah. Hal itu disampaikan Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas bahwa pihaknya menolak jika dana tersebut digunakan untuk promosi LGBT.

 

Ia khawatir promosi itu akan berusaha mengubah pandangan masyarakat menjadi normal melihat perilaku LGBT. Pasalnya, masyarakat Indonesia memang memandang LGBT adalah penyakit masyarakat. Terlebih, ia menilai salah satu aspek yang patut diwaspadai adalah dengan mengajak masyarakat melihat itu sebagai gaya hidup.

 

Yunahar menegaskan bahwa perilaku LGBT dilarag semua ajaran agama di Indonesia dan dunia, termasuk Islam. Selain itu, ia menyatakan LGBT bertentangan dengan Pancasila, yang menjadi ideologi dasar negara Indonesia. Menurutnya, dana tersebut boleh saja digunakan apabila bertujuan untuk melakukan riset dan pengobatan perilaku tersebut.

 

Kini, publik menanti apakah DPR dan Pemerintah akan sepakat bahwa LGBT bisa dipidanakan dalam RKUHP. Atau justru menyetujui perilaku LGBT dan menerima aliran dana asing yang tentunya menentang Pancasila.