Kebijakan Kurikulum Pendidikan Saat Pandemi
Sekolah memiliki tiga opsi kurikulum yang dapat diambil dalam kondisi darurat atau kondisi khusus di tengah pandemi global Covid-19 saat ini.

MONDAYREVIEW.COM – Selain persoalan infrastruktur seperti sinyal, kuota dan gawai, yang tidak boleh dilupakan dari pembelajaran jarak jauh adalah soal kurikulum. Kurikulum merupakan salah satu aspek penting dalam pembelajaran. Adanya kurikulum dapat membuat aktivitas pendidikan menjadi terarah dan tidak asal-asalnya. Tidak adanya kurikulum dapat membuat pendidikan hanya sekadar aktivitas belajar tanpa tujuan yang jelas. Indonesia sudah beberapa kali melakukan penggantian kurikulum, dari kurikulum 1994, 2004, KTSP 2006 sampai yang terakhir adalah kurikulum 2013.
Lantas bagaimanakah nasib penerapan kurikulum di kala pandemi? Mengingat kondisi pandemi memaksa dunia pendidikan untuk menerapkan sistem pendidikan jarak jauh? Mendikbud Nadiem Makarim menyampaikan, sekolah memiliki tiga opsi kurikulum yang dapat diambil dalam kondisi darurat atau kondisi khusus di tengah pandemi global Covid-19 saat ini. Ia menyampaikan, sekolah dalam kondisi khusus dapat menggunakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik. Pelaksanaan kurikulum pada kondisi khusus, bertujuan memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan untuk menentukan kurikulum sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik.
Sekolah pada kondisi khusus dalam pelaksanaan pembelajaran dapat memilih salah satu kurikulum dari tiga opsi yang ditawarkan: Tetap mengacu pada Kurikulum Nasional, Menggunakan kurikulum darurat; atau Melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. Kurikulum darurat (dalam kondisi khusus) yang disiapkan Kemendikbud merupakan penyederhanaan dari kurikulum nasional. Pada kurikulum tersebut dilakukan pengurangan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran sehingga guru dan siswa dapat berfokus pada kompetensi esensial dan kompetensi prasyarat untuk kelanjutan pembelajaran di tingkat selanjutnya.
Modul belajar PAUD dijalankan dengan prinsip “Bermain adalah Belajar”. Proses pembelajaran terjadi saat anak bermain serta melakukan kegiatan sehari-hari. Sementara itu, untuk jenjang pendidikan SD modul belajar mencakup rencana pembelajaran yang mudah dilakukan secara mandiri oleh pendamping baik orangtua maupun wali. Modul tersebut diharapkan akan mempermudah guru untuk memfasilitasi dan memantau pembelajaran siswa di rumah dan membantu orang tua dalam mendapatkan tips dan strategi dalam mendampingi anak belajar dari rumah. Guru tidak dibebani target kerja tatap muka Pemerintah juga melakukan relaksasi peraturan untuk guru dalam mendukung kesuksesan pembelajaran di masa pandemi Covid-19.
Mendikbud berharap kerja sama semua pihak dapat terus dilakukan. Orang tua diharapkan dapat aktif berpartisipasi dalam kegiatan proses belajar mengajar di rumah. Guru diharapkan dapat terus meningkatkan kapasitas untuk melakukan pembelajaran interaktif, dan sekolah dapat memfasilitasi kegiatan belajar mengajar dengan metode paling tepat.
Sementara itu, Ahmad Junaidi kandidat Ph.D dari Monash University mendorong agar sekolah bisa menerapkan kurikulum mandiri dibanding kurikulum darurat. Menurutnya, kurikulum darurat masih akan menimbulkan permasalahan yang sama terkait ketimpangan infrastruktur pembelajaran. Skema pengurangan Kompetensi Dasar ini masih bias kelas karena tidak memberi banyak ruang untuk merombak materi pokok untuk memudahkan pembelajaran jarak jauh bagi sekolah di daerah tertinggal. Oleh karena itu, langkah terbaik bagi sekolah justru adalah mengambil pilihan ke tiga - yakni penyederhanaan kurikulum secara mandiri - yang memberi keleluasaan penuh untuk mengadaptasi kurikulum sesuai kondisi lokal mereka.
Salah satu pendekatan yang bisa menjadi pilihan ideal untuk menerapkan pilihan perubahan kurikulum secara mandiri adalah dengan melalui pendekatan yang menyesuaikan kebutuhan lokal, atau yang dikenal dengan metode pembelajaran berbasis proyek (project-based learning).
Project-based learning sendiri adalah kegiatan belajar yang diawali dengan memetakan permasalahan lokal, lalu mengeksekusi sebuah proyek untuk mengatasi masalah tersebut. Artinya, pendekatan ini mampu menyesuaikan dengan perbedaan kapasitas dan sumber daya tiap sekolah yang menjadi masalah sentral selama COVID-19.
Misalnya di sebuah desa agraris, salah satu masalah yang dihadapi adalah adanya krisis petani di masa depan. Maka, proyek yang bisa diterapkan pada peserta didik, misalnya, adalah mencari tahu dari keluarga atau sumber belajar lain terkait metode menanam, umur tanaman, dan penyakit tanaman.
Pembelajaran seperti ini tidak membutuhkan infrastruktur teknologi yang berat dan mahal serta memiliki muatan lokal dan pendidikan kritis. Selain itu, pendekatan ini akan meminimalisir beban ekonomi dan psikologis yang selama ini dimunculkan oleh Kurikulum 2013 selama online learning.
Salah satu kekhawatiran yang timbul ketika menerapkan kurikulum mandiri adalah tidaknya standar untuk menentukan apakah proses pembelajaran telah mencapai target atau tidak. Ada standar - berbentuk silabus dan bahan ajar - dalam kurikulum pendidikan membantu proses evaluasi pembelajaran dan pendidikan karakter murid. Tidak adanya standar dalam kurikulum mandiri kemudian membuat banyak orang khawatir. Padahal, filosofi dasar pendidikan Indonesia sejak dahulu menentang konsep standardisasi yang dipaksakan karena beranggapan bahwa setiap sekolah dan daerah memiliki permasalahan yang berbeda dan standardisasi adalah bentuk penyeragaman yang kontra-produktif.
Dengan tidak sepenuhnya mengacu pada standar, peserta didik justru mendapatkan manfaat pendidikan yang sesuai dengan konteks komunitas mereka. Sebuah studi yang meneliti 232 keluarga di 12 negara yang tidak menyekolahkan anak-anaknya menemukan bahwa anak tetap masih mendapatkan pengetahuan yang cukup baik dengan tetap memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Di Indonesia, Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta menunjukkan hal serupa dengan penerapan kurikulum mandiri yang tidak mewajibkan seragam maupun menyelenggarakan ujian. Contoh lain adalah Sokola Institute yang mengajarkan literasi terapan kepada masyarakat adat menggunakan kurikulum yang diadaptasi dari pengalaman pendirinya ketika hidup bersama Orang Rimba di hutan Jambi.