Peluang dan Tantangan Regenerasi Petani Muda
Ridwan Kamil mencetuskan program PETANI MILENIAL JAWA BARAT di Februari tahun depan.

MONDAYREVIEW.COM – Indonesia merupakan negara agraris, sebuah kalimat yang terdengar klise namun masih relevan hingga sekarang. Jika kita menjelajah ke seantero negeri, kita akan menemukan banyak sekali masyarakat yang menjadikan pertanian sebagai mata pencahariannya, khususnya di wilayah pedesaan. Pertanian masih terus bertahan walaupun dibarengi dengan laju industrialisasi yang tak kalah cepat. Sektor pertanian masih menjadi salah satu penyumbang nilai yang cukup besar dalam Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara kita.
Namun ada satu persoalan yang perlu dicari solusinya bersama, yakni terancamnya regenerasi petani. Anak-anak di pedesaan pada umumnya lebih memilih melakukan urbanisasi ke wilayah kota. Hal ini karena menurut mereka bertani tidak menjanjikan secara ekonomi. Oleh karena itu mereka memilih menjadi buruh di industry yang lebih menjamin kelangsungan hidup mereka. Terbukanya akses pendidikan ke perguruan tinggi juga membuat para lulusan perguruan tinggi enggan berbasah-basahan atau kotor-kotoran di ladang dan lebih memilih sejuknya AC di perkantoran. Perlu ada inisiatif bagi persoalan regenerasi petani ini.
Guna mencoba mengatasi problem ini, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil memperkenalkan seorang petani muda asal daerah di Jawa Barat. Bukan main-main, petani itu telah mendapatkan penghasilan fantastis dari kegiatannya bertani. Melalui akun Instagram @ridwankamil, mantan wali kota Bandung itu menulis, "PETANI MILENIAL JAWA BARAT. Tinggal di desa, rejeki kota dan bisnis mendunia." Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil menyebut petani milenial tersebut bernama Wisnu Saepudin. Pemuda berusia 26 tahun yang tinggal di Kabupaten Bandung Barat itu mendapatkan penghasilan hingga Rp20 juta sebulan dengan bertani paprika di tanah seluas 1,200 meter per segi.
Ridwan Kamil mencetuskan program PETANI MILENIAL JAWA BARAT di Februari tahun depan. Tanahnya dipinjami oleh pemerintah jika tidak punya dan produknya dibeli langsung oleh pemerintah dan forum off takers. Namun, Kang Emil memberikan syarat bagi pemuda yang ikut mengikuti program Petani Milenial yakni harus menguasai teknologi digital baik dalam produksi maupun dalam penjualannya.
Tawaran gubernur Jawa Barat tersebut patut disambut baik sebagai ikhtiar membuat anak muda kembali tertarik ke dunia pertanian. Tentu ada beberapa catatan kritis yang mesti juga diperhatikan oleh pemerintah. Pertama adalah soal lahan pertanian yang semakin sempit digantikan oleh perumahan atau industry. Pemerintah harus mempunyai sikap yang tegas guna mempertahankan lahan pertanian agar tidak diubah untuk kepentingan lainnya.
Kedua adalah akses permodalan dan pemasaran. Selama ini kita tahu banyak petani yang berhasil memanen produknya namun harus merugi karena harga pasar yang jatuh. Para petani pun tidak sepenuhnya sejahtera karena hanya bisa menjual produknya kepada tengkulak. Hal ini perlu dibantu oleh pemerintah dengan cara mengeluarkan kebijakan harga minimum atau membeli produk para petani. Persoalan impor pun menjadi kendala bagi petani karena membuat harga produk tani menjadi jatuh. Jika persoalan ini pun diperhatikan, maka program petani milenial akan berlangsung efektif.