Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tinggi, KPAI Tekankan Pentingnya Pendidikan Seks Sejak Dini

Sepanjang 2019, KPAI telah mencatat kekerasan seksual di pendidikan berjumlah 21 kasus dengan jumlah korban mencapai 123 anak, terdiri dari 71  anak perempuan dan 52 anak laki-laki. Artinya, anak laki-laki maupun anak perempuan, semuanya rentan menjadi korban kekerasan seksual di sekolah. 

Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tinggi, KPAI Tekankan Pentingnya Pendidikan Seks Sejak Dini
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti.

MONITORDAY.COM - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menekankan pentingnya pendidikan seks sejak usia dini. Hal tersebut dinilai penting untuk diterapkan mengingat sepanjang 2019, KPAI mencatat kasus kekerasan seksual terhadap anak di dunia pendidikan tercatat tinggi menimpa lebih dari seratus korban anak-anak. 

"Tingginya kasus kekerasan seksual di jenjang SD karena usia anak-anak SD belum paham aktivitas seksual sehingga kerap kali anak-anak tersebut tidak menyadari kalau dirinya mengalami pelecehan seksual. Di sinilah pentingnya dilakukan pendidikan seks sejak dini," ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, Dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/12).

Retno menjelaskan, sepanjang 2019, pihaknya telah mencatat kekerasan seksual di pendidikan berjumlah 21 kasus dengan jumlah korban mencapai 123 anak, terdiri dari 71  anak perempuan dan 52 anak laki-laki. Artinya, anak laki-laki maupun anak perempuan, semuanya rentan menjadi korban kekerasan seksual di sekolah. 

"Data menunjukkan bahwa satu pelaku bisa memperdaya banyak korban, karena dari 21 pelaku, korbannya mencapai 123 anak," ungkapnya. 

Retno menambahkan, pelaku ada 21 orang yang terdiri dari 20 laki-laki dan 1 perempuan. Adapun pelaku mayoritas adalah guru (90%) dan  kepala sekolah (10%). Oknum pelaku yang merupakan guru terdiri dari guru olahraga  (29%) , Guru Agama (14%) guru kesenian (5%), guru komputer (5%), guru IPS (5%) , guru BK (5%), guru Bahasa Inggris (5%) dan guru kelas (23%). 

"Hasil pengawasan KPAI menunjukkan bahwa dari 21 kasus kekerasan seksual di sekolah tersebut, 13 kasus (62%) terjadi dijenjang SD, 5 kasus (24%) terjadi dijenjang SMP/sederajat dan 3 kasus (14%) di jenjang SMA," jelas Retno.

Adapun modus pelaku kekerasan seksual di sekolah, sambung Retno, korban diajari matematika tetapi selesai jam belajar sehingga suasana sepi,  korban diajak menonton film porno saat jam istirahat di dalam ruang kelas, korban diancam mendapatkan nilai jelek, korban diberi uang oleh pelaku antara Rp 2.000-Rp 5.000; korban dibelikan handphone, dibelikan pulsa dan pakaian.

"Selain itu modusnya, korban di pacari gurunya, korban dijanjikan dinikahi gurunya, pelaku melakukan pelecehan seksual saat korban ganti pakaian olahraga di ruang ganti/ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah), dan dengan dalih sedang membuat disertasi pelaku meminta korban melakukan masturbasi di ruang Bimbingan Konseling (BK)," sambung Retno. 

Lebih lanjut, Retno menjelaskan, para pelaku dalam menjalankan aksi bejatnya mayoritas dilakukan di ruang kelas. Ada juga yang di ruang kepala sekolah, di kebon belakang sekolah, di ruang laboratorium komputer, ruang ganti pakaian/ruang UKS, di gudang sekolah, ruang perpustakaan dan di ruang BK. Dari hasil pengawasan KPAI, menunjukkan fakta bahwa teknologi CCTV belum ada di sekolah-sekolah tersebut sehingga lokasi-lokasi tersebut tidak terpantau oleh kamera pengaman.

Adapun bentuk kekerasan seksual yang dilakukan sodomi, perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual dan oral seks. Jika merujuk pada Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan, pencabulan merupakan tindakan, proses, cara, perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh, melanggar kesopanan dan kesusilaan. 

"Sedangkan  pemerkosaan diartikan sebagai tindakan, proses, perbuatan, cara menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, dan/atau menggagahi," tandasnya.