Kapal Karam di Laut, Pesawat Oleng di Udara
Keliru menafsirkan poros maritim dunia, persoalan transportasi mulai mencuat.

RASANYA baru kemarin sore kita dengar pujian setinggi langit soal kesuksesan dalam melancarkan arus mudik dan balik Idulfitri 2018. Suara para politisi dari partai oposisi yang biasanya satire pun mendadak jadi lebih apresiatif.
“Ada yang memang berhasil ya. Salah satunya keberhasilannya, yang lancar ya itu karena memang masa liburan diperpanjang. Sehingga kemudian itu tidak menumpuk pulang di hari yang berdekatan. Itu fakta dan itu diapresiasi,” kata Wakil Ketua Majelis Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nurwahid di Kompleks, Senayan, Jakarta, Jum’at (22/6/2018).
Tapi kini, sejumlah persoalan seputar transportasi pun mulai mencuat. Mulai dari karamnya KM Sinar Bangun dalam pelayaran dari Simanindo, Samosir, menuju Tigaras, Simalungun pada 18 Juni 2018. Lalu, pada 3 Juli 2018, Kapal Feri Lestari Maju yang melayani jalur penyeberangan antara Pelabuhan Bira, Kabupaten Bulukumba, dengan Pelabuhan Pamatata, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, karam juga.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi V dan Dirjen Perhubungan Laut (Dirjen Hubla), sejumlah fraksi mencecar Direktur Hubla, Agus Purnomo. Anggota Komisi V dari Fraksi Golkar Hamka B Kady mengaku sudah sejak lama meminta Kementrian Perhubungan lebih serius memperhatikan transportasi laut di Indonesia, khususnya di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan.
“Saya sudah teriak disini, tolong kapal perintis, karena satu-satunya yang menghubungkan ke sana kapal. Saya pernah naik kapal yang dikatakan tadi,” tutur Hamka dalam RDP di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Persoalan lain yang juga mencuat dan tengah ramai di DPR adalah rencana mogok para pilot yang tergabung dalam Asosiasi Pilot Garuda Indonesia (APG). Mereka bahkan telah memastikan sikapnya melakukan aksi mogok. Sikap ini diambil lantaran perwakilan para pilot tidak puas dengan hasil mediasi antara mereka dengan manajeman Garuda Indonesia.
Persoalan makin runyam, lantaran sang mediator yang tak lain Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya kepada Menteri BUMN, Rini Soemarno.
Bahkan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan sendiri enggan menanggapi ancaman mogok terbang pilot Garuda Indonesia tersebut. Padahal, sebelumnya kemenko bidang Kemaritiman terlihat aktif memediasi APG dan Manajemen Garuda Indonesia.
“Saya enggak tahu lagi, tugas saya sudah selesai,” kilah Luhut saat ditanya soal perkembangan mediasi APG dan Manajemen Garuda Indonesia di kantornya.
Menurut Luhut, apa yang menjadi tugas Kemenko Kemaritiman dalam mediasi tersebut sudah tuntas. Tugas selanjutnya diserahkan kepada Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). ‘Sudah kami selesaikan, biar Menteri Rini yang selesaikan,” tutur Luhut.
Sementara itu, dari pihak APG sendiri Presiden APG Captain Bintang Hardiono menyebut pihaknya saat ini sedang menyiapkan aksi mogok tersebut. “Mengenai tanggal pastinya, nanti akan kami beri tahu pada waktu press release,” katanya.
Menurut Bintang, APG bersama Serikat Karyawan Garuda Indonesia sudah sepakat mengambil langkah untuk mogok kerja. Mereka berencana berkumpul terlebih dahulu pada (5/7/2018) mendatang di Pilot House untuk membahas lebih lanjut mekanisme mogok yang akan mereka lakukan.
Anggota Komisi V lainnya, Bambang Haryo Soekartono bahkan sudah sejak lama mengkritisi persoalan transportasi ini. Dalam sebuah diskusi santai di ruangannya (25/4/2018), Bambang Haryo sempat menyebut persoalan transportasi Indonesia sebetulnya amat pelik. Mulai dari LRT dan MRT yang tak terkoneksi, Pembangunan Bandara yang tidak jelas peruntukannya, serta pembangunan infrastruktur transportasi laut yang tak sebangun dengan visi poros maritim dunia yang seharusnya.
Menurut Legislator Dapil Jatim 1 ini, Indonesia sebagai poros maritime dunia, maka agenda pembangunan mesti difokuskan pada 5 pilar utama, yaitu: membangun kembali budaya maritime, menjaga sumber daya daya laut, memberi prioritas pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritime, menerapkan diplomasi maritime, dan menangani sumber konflik kemaritiman.
“Poros maritime dunia itu tak melulu soal ikan, tapi lebih dari itu lebih karena Indonesia ada diantara 4 benua. Sehingga bila kita bisa membangun infrastruktur kemaritiman lebih baik, semua kapal akan melewati perairan Indonesia,” tutur Bambang Haryo.
Sejatinya, gagasan Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia merupakan langkah tepat. Namun persoalannya, bila gagasan ini diterjemahkan menjadi kerja-kerja teknis yang melenceng, maka wajar saja bila sejumlah persoalan muncul dari sektor transportasi (darat, laut dan udara) seperti sekarang. Pesawat oleng di udara, sementara kapal karam di lautan.
[Mrf]