Jangan Bid'ahkan Kami!

Jangan Bid'ahkan Kami!
Foto: iStockphoto/Zeferli

MONITORDAY.COM - Hari ini, 1400 tahun lalu, jagat raya dibanjiri kegembiraan yang tak terlukis kata-kata, atas kelahiran seorang manusia agung, yang kehadirannya menutup risalah panjang kenabian. Bayi itu diberi nama Muhammad bin Abdullah. Saat remaja, beliau sudah dikenal sebagai pribadi tanpa cela. Menginjak usia 40 tahun, Malaikat Jibril mendatanginya, menyampaikan wahyu pertama dari Allah Swt. Lalu, kita dikabari:

“Sungguh telah datang pada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat welas asih dan penyayang pada mereka yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128).

Rasulullah Saw adalah pribadi yang namanya dikenal di bumi dan di langit. Allah telah memilihnya sebagai utusan bagi seluruh alam, membawa risalah cinta kasih, mengajarkan syariat yang dibutuhkan manusia, mencintai perdamaian, memberi contoh hidup seimbang serta menegakkan keadilan dan kejujuran.

Beliau tidak pernah membalas keburukan kecuali dengan kebaikan. Tidak membalas kehinaan kecuali dengan kemuliaan. Beliau adalah hamba yang kepribadiannya seperti Al-Quran yang berjalan.

Beliau meninggalkan dua warisan utama bagi manusia, yaitu: Al-Quran dan Sunnah, sebagai pelita sepanjang masa. Beliau menjamin siapapun yang menggali, memahami dan mengamalkannya, pasti ia tak akan pernah tersesat.

Sepeninggal beliau Saw, kepribadian dan teladan kehidupan Rasulullah Saw tetap melekat kuat dalam memori para sahabat. Imam Ibnu Asakir dan al-Hafidz Al-Subki mengisahkan bahwa sepeninggal Rasulullah Saw, sahabat Bilal bin Rabah tak kuasa lagi tinggal di Madinah.

Ia tak kuat menanggung rindu kepada Rasulullah Saw, sebab di Madinah, banyak tempat dan peristiwa yang senanatiasa mengingatkan Bilal kepada Rasulullah Saw. Ia tak kuat mengenang masa-masa indah itu.

Akhirnya, Bilal meminta izin kepada Khalifah Abu Bakar untuk pergi ke Syam bersama para mujahid, lalu tinggal di Darayya, Damaskus. Setelah beberapa tahun tinggal di sana, suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. Dalam mimpi itu, Rasulullah Saw. menegur Bilal:

“Wahai Bilal, wa maa hadzihill jafwah? Belum tibakah waktu bagimu untuk menziarahiku?”

Bilal langsung terbangun penuh rasa pilu mendapat teguran Rasulullah Saw dan segera ke Madinah. Setiba di sana, Bilal bergegas menuju makam Rasulullah Saw. Gemuruh rindu makin menggema di dadanya. Ia pun menangis sejadi-jadinya di makam Rasulullah Saw, menumpahkan rasa rindu itu.

Dalam suasana pilu, datanglah Khalifah Abu Bakar. Beliau meminta Bilal agar mengumandangkan adzan di masjid Rasulullah Saw. Bilal menolak permintaan itu, sebab sepeninggal Rasulullah Saw ia tak sanggup mengumandangkan adzan lagi. Setiap kali ia mengumandangkan  “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah, ia tak kuat menahan isak tangis, hingga tak bisa menyelesaikan adzan. Bilal pun menambah alasan penolakan itu dengan kenangan indah: “Semasa Rasulullah Saw hidup, setiap kali selesai adzan, aku selalu datang ke kamar beliau Saw dan aku kabari beliau: “Wahai Rasulullah, waktu shalat telah tiba.” Saat ini, harus pada siapa aku mengatakan kata-kata itu?”, kenang sahabat Bilal. Umar bin Khattab datang dan meminta hal yang sama, tetapi sikap Bilal tak berbah.

Tiba-tiba, datanglah dua remaja mulia, pemuda ahli surga. Ternyata kedua pemuda tersebut adalah Hasan dan Husein Ra, dua cucu Rasulullah Saw yang saat kecilnya sering bergelantungan di punggung mulia Rasulullah Saw, meski beliau sedang ruku atau sujud. Dengan berderai air mata, Bilal segera memeluk darah daging Rasulullah Saw itu. Dari keduanya, Bilal mencium semerbak harum Rasulullah Saw.

Hasan Ra berkata pada Bilal, “Paman, kami sangat rindu pada adzan yang selalu engkau kumandangkan pada Kakek kami. Sudikah engkau mengumandangkannya untuk kami subuh nanti?” Bilal tak sanggup menolak permintaan dua cucu Rasulullah Saw itu.

Saat waktu shalat tiba, Bilal naik ke puncak Masjid Nabawi, tempat yang biasa ia gunakan untuk adzan semasa Rasulullah Saw masih hidup. Kalimat Allaahu Akbar yang terlontar dari suara indah Bilal, memecah keheningan kota Madinah.

Suara itu masuk menembus dinding penduduk Madinah, meresap ke dalam relung sanubari mereka seraya membangkitkan memori mereka bahwa suara itu sering mereka dengar semasa Rasulullah Saw masih hidup. 

Saat Bilal mengumandangkan “Asyhadu an laa ilaha illallah yang pertama, laki-laki penduduk Madinah berhamburan, bertanya-tanya, “Apakah Rasulullah Saw bangkit lagi?” Ketika Asyhadu Alla Ilaha Illallah kedua dikumandangkan Bilal, kaum Wanita dan para gadis berhamburan menuju Masjid Nabawi. 

Tatkala Bilal mengumandangkan Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Kota Madinah bergemuruh dengan isak tangis penuh kepiluan, jiwa mereka langsung teringat kepada masa indah saat Rasulullah masih bersama mereka.

Bilal pun terisak tangis dahsyat, suaranya tersendat di leher. Ia tak mampu melanjutkan adzan. Semua tenggelam dalam rasa rindu pada Sang Rasul Mulia Saw. Hari itu adalah hari kegetiran dan hujan isak tangis pertama yang paling dahsyat di Kota Madinah, semenjak kepergian Rasulullah Saw.

Demikianlah gambaran bagaimana kuatnya figur seorang Rasul dalam jiwa para sahabat. Rasa ini mengalir dalam jiwa mereka setiap saat. Untuk menghidupkan memori cinta pada Rasulullah Saw, mereka tidak perlu momen-momen khusus.

Saat ini, perilaku manusia sudah sangat jauh dari figur agung itu, banyak yang sudah hampir tidak ingat pada pribadi mulia Saw. Setiap hari mereka mendengar kumandang “Asyhadu Anna Muhammadan rasulullah, tapi hati mereka tak merasakan apa-apa.

Ketika kata ‘Muhammad’ melintas di telinga mereka, tidak ada frekuensi yang membawa mereka pada pribadi agung itu, sehingga mendengar nama ‘Muhammad’ tak ubahnya seperti mendengar kalimat lain: kering, tak bermakna dan tidak menggerakkan hati.

Dalam situasi seperti ini, kita harus beruapaya keras mengenalkan pribadi agung ini dalam jiwa manusia serta menggunakan setiap kesempatan untuk mengenalkan Rasulullah Saw kepada mereka.

Salah satu momen tersebut adalah kelahiran Rasulullah Saw. Mungkin sebagian orang keberatan, sebab Rasulullah Saw tidak pernah mencontohkan peringatan hari lahirnya, tidak pula para sahabatnya. Betul, mereka tidak pernah melakukan itu, sebab kehadiran Rasulullah Saw sangat melekat dalam jiwa mereka, melebihi memori cinta pada anak dan istri mereka.

Mungkin juga ada yang akan mengatakan bahwa sanad kisah di atas lemah dan tak dapat dijadikan pegangan. Tidak mengapa, sebab ada juga ulama yang berpendapat, bahwa ia meriwayatkan kisah ini dengan sanad jayyid, dapat diterima.

Ya Rasulallah, terimalah kami sebagai umatmu. Semoga shalawat dan salam selalu tercurah padamu, keluargamu dan para sahabatmu.