Yang Lebih Baik dari Kesenangan Duniawi

MONITORDAY.COM - Sudah menjadi tabiat manusia bahwa tidak seorangpun menghendaki sesuatu yang buruk dalam hidupnya. Impian hidup manusia di dunia ini adalah bahagia. Pasangan hidup, keturunan, ilmu, kedudukan (pangkat dan tahta), serta harta merupakan unsur-unsur penting dan baik dalam meraih kebahagiaan.
Allah Swt mendiskripsikan tabiat manusia ini pada satu ayat yang tercantum dalam surat Ali-Imran yang terjemahannya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada syahwat (apa-apa yang dingini dan segala yang disenangi), yaitu: wanita-wanita, anak laki-laki,dan harta yang banyak dan berlimpah dari jenis emas, perak, kuda-kuda pilihan, binatang-binatang ternak,dan sawah lading atau tanam-tanaman. Itulah kesenangan hisup dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS.Ali-Imran[2]:14)
Melalui ayat tersebut, Allah Swt menegaskan bahwa tabiat manusia dalam hidupnya di dunia ini selalu berupaya untuk mewujudkan 5 (lima) ragam kecintaan sebagai wahana mencapai bahagia.
Ragam kecintaan tersebut, yaitu:
Pertama, cinta terhadap wanita-wanita. Mengingat universalitas ayat Al-Qur’an, maka maknanya berlaku pula sebaliknya bahwa wanita akan cinta terhadap laki-laki. Dengan demikian dalam pengertian umum kecintaan ini dapat diartikan sebagai cinta terhadap pasangan.
Firman Allah Swt:“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya,Ia menciptakan dari diri kalian pasangan. Supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang yang berfikir.” (QS.Ar-Rum [30]:21)
Kedua, cinta terhadap anak laki-laki. Kecintaan ini berlaku pula bagi anak perempuan. Menurut Prof. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, cinta terhadap anak laki-laki ini mengandung makna cinta pada keturunan. Keturunan merupakan generasi penerus sekaligus pewaris dalam melanggengkan hal yang baik bahkan yang buruk.
Disamping itu, keturunan ini berfungsi pula dalam memperkuat dan memperbanyak pilar-pilar penyangga keluarga. Surat Al-Baqarah ayat 124 mengisyaratkan hal ini. Ketika Nabi Ibrahim Alaihissalam lulus dari berbagai ujian yang diberikan Allah Swt, kemudian dikatakan-Nya bahwa Ibrahim akan dijadikan sebagai pemimpin bagi manusia. Nabi Ibrahim memohon kepada-Nya: ”Jadikan pula anak keturunanku menjadi pemimpin manusia” dan permohonan itu dikabulkan Allah Swt dengan syarat bukan anak keturunan yang dzolim.
Ketiga, harta benda yang melimpah berupa emas dan perak. Emas dan perak merupakan perhiasan bagi manusia dan menjadi lambang kemegahan. Mahkota para raja dan ratu selalu terbuat dari emas atau perak. Tugu-tugu yang menjadi penanda sejarah di kota-kota besar maupun di pusat-pusat peradaban selalu terbuat dari emas atau perak.
Keempat, kuda- kuda pilihan (merupakan alat tranportasi yang menjadi lambang kemewahan sesuai zamannya). Selaras dengan perkembangan teknologi, kuda pilihan ini dapat dianalogikan dengan alat transportasi mewah seperti mobil-mobil mewah, kapal pesiar, pesawat terbang VIP dan berbagai jenis kendaraan mewah yang dapat dimanfaatkan untuk pesiar maupun mengembangkan harta kekayaannya melalui bisnis tranportasi.
Kelima, binatang ternak dan sawah ladang (merupakan barang investasi dan unit produksi lahan bisnis). Saat ini dapat di analogikan pula dengan surat berharga, deposito, dan saham.
Berkaitan dengan surat Ali Imran ayat 14 tersebut, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menjelaskan tujuan ayat ini bukan untuk melarang manusia mencintai syahwat-syahwat tersebut, melainkan untuk mengujinya. Karena cinta terhadap dunia merupakan fitrah pemberian Allah Swt.
Melalui surat Ibrahim dalam salah satu ayatnya Allah Swt berfirman: “Dan Aku telah mendatangkan (memberikan) kepada kalian apapun yang kamu mohonkan (inginkan) dan jika kamu menghitung nikmat Allah kamu tidak dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia sangat dzalim dan sangat mengingkarinya.” (QS. Ibrahim [14]:34)
Mengapa Allah Swt mengakhiri ayat 14 Surat Ali Imran dengan ungkapan ”Dan di sisi Allah tempat kembali yang baik”, sementara dalam ayat 34 surat Ibrahim Allah mengakhirinya dengan ungkapan “Sesungguhnya manusia sangat dzalim dan sangat mengingkarinya.”
Sejatinya, ada dua hal penting yang selalu mengiringi manusia untuk meraih keinginan dan kesenangan yang berorientasi pada 5 (lima) kesenangan syahwat dalam hidupnya di dunia ini, yaitu; motivasi (niat) dan amal perbuatan (ikhtiar).
Sayidina Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan." (HR. Bukhari [No. 54 Fathul Bari] Shahih).
Hadist ini mengisyaratkan bahwa ada dua niat dan ikhtiar manusia dalam meraih keinginan dan kesenangannya, yaitu; bersifat hakiki dan kekal, dan bersifat relatif atau sementara (fana). Niat dan ikhtiar yang hakiki dan kekal didasari karena Allah Swt. Adapun niat dan ikhtiar yang bersifat relatif didasari karena kepentingan dunia.
Allah Swt menjelaskan bahwa niat dan ikhtiar manusia dalam mewujudkan keinginan dan kesenangannya yang berorientasi pada kepentingan dunia, serta merta akan melahirkan perangai manusia berupa sifat “angkuh” dan “lalai”.
Sesuai dengan firman Allah:“Ketahuliah, sesungguhnya manusia pasti “angkuh” apabila sudah merasa berkecukupan” (QS.Al-‘Alaq [96]:6-7). Dan dalam surat at-Takatsur: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk kubur” (QS. At-Takatsur[102]:1-2).
Kemudian Allah Swt mengingatkan pada ayat berikutnya dengan 3 (tiga) kali peringatan: “Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui, janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin” (QS. At-Takatsur [102]:3-6). Peringatan Allah Swt ini diakhiri dengan: “Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu) (QS. At-Takatsur [102]:8)
Melalui ayat-ayat tersebut, Allah Swt mengingatkan bahwa keinginan dan kesenangan yang telah diraih melalui niat dan ikhtiar yang melahirkan kenikmatan baik yang hakiki maupun yang relatif pada akhirnya akan diminta pertanggung jawaban di hadapan Allah. Pertanggung jawaban itu paling tidak terkait dengan ‘cara memperoleh’ dan ‘cara memfungsikannya’.
Dengan rahman dan rahim-Nya pada ayat berikutnya dalam surat Ali Imran tersebut, Allah Swt berfirman: “Katakanlah (wahai nabi), maukah Aku kabarkan kepada kalian yang lebih baik dari yang demikian itu?” Bagi orang-orang yang bertakwa, pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan mereka dikarunia pasangan yang di sucikan serta keridhaan Allah.Dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya” (QS. Ali-Imran [2]:15).
Melalui ayat ini, Allah Swt mengingatkan manusia bahwa niat dan ikhtiar dalam meraih keinginan dan kesenangan yang berorientasi pada pemenuhan 5 (lima) kesenangan syahwatnya selayaknya berpedoman pada niat dan ikhtiar yang “hakiki” dan “takwa”.
Dalam konteks ini makna takwa yang relevan adalah kepatuhan terhadap ketetapan-ketetapan Allah Swt baik dalam cara memperoleh maupun dalam cara memfungsikan 5 (lima) kesenangan syahwatnya.
Ketakwaan terhadap Allah akan melahirkan kesadaran betapa tidak layaknya besifat “angkuh”, “sombong”, dan “lalai”. Dengan demikian, ketaqwaan dapat menghadirkan ketenangan lahir dan bathin baik saat memperoleh, menikmanti, dan menghadapi hari pertanggung jawaban.
Hal ini sesuai dengan ciri-ciri yang direfleksikan dari perilaku takwa yang dijelaskan pada ayat 16-18 surat Ali-Imran tersebut. Ketakwaan merupakan refleksi keimanan yang sesungguhnya terhadap Allah Swt, keistiqomahan dalam mematuhi ketetapan-ketetapan-Nya. Melalui takwa pula, melahirkan kesadaran betapa sulitnya menghindarkan diri dari kesalahan dan dosa sehingga setiap saat akan selalu memohon ampunan-Nya.
Selama proses berikhtiar dan memfungsikan hasil yang diraihnya dalam mewujudkan 5 (lima) kesenangan syahwatnya akan selalu diiringi dengan prilaku sabar,sidiq (benar), taat aturan (qanitin), dan (infaq) atau berhidmat terhadap sesama.
Perilaku ini diringi dengan cara yang dapat mengangkat derjatnya diposisi terpuji di hadapan Allah Swt adalah selalu memohon ampun diwaktu syahur (dua pertiga malam) ketika orang-orang dalam keadaan tidur. Dan, tidak melakukan perbuatan syirik terhadap Allah dalam berbagai hal. Selalu berupaya untuk berlaku adil terhadap Allah, terhadap diri pribadi, dan terhadap sesama dalam upaya memenuhi keinginan dan kesenanganya serta memfungsikannya. Wallahu ‘alam bi shawab.