Memaknai Tahun Baru

Memaknai Tahun Baru
ilustrasi/net

MONITORDAY.COM - Seorang ustadz menceritakan pengalaman ketika mengisi pengajian tepat pada malam pergantian tahun. Selain Ustadz, beliau seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di sebuah kota pendidikan. Metode yang digunakan dalam mengisi pengajian tersebut layaknya seperti memberikan kuliah.

Setelah memulai dengan salam, dilanjutkan dengan mukadimah yang berisi ucapan syukur dan pujian terhadap Allah Swt. Dilanjutkan dengan menyampaikan shalawat dan salam kepada junjunan alam Rasululllah Saw, tidak lupa beliaupun mengucapkan terima kasih kepada pengatur acara yang telah memberi waktu dan kesempatan untuk menyampaikan ceramahnya dalam pengajian tersebut.

Kemudian beliau melanjutkan pembicaraannya dengan mengatakan: “Bapak dan Ibu ahli pengajian rahimakumullah, mengingat saat ini bertepatan dengan malam pergantian tahun (menjelang tahun baru) dalam pengajian ini saya menyarankan agar Bapak dan Ibu merenungkan makna tahun baru bagi diri Bapak dan Ibu masing-masing.”

Saran yang disampaikan oleh ustadz tersebut serta merta membuat suasana pengajian seperti upacara mengheningkan cipta. Bisu, hening, sunyi, dan senyap karena semua peserta pengajian terdiam merenung.

Di tengah-tengah keheningan tersebut, seorang peserta pengajian yang sudah sangat sepuh, usianya hampir mencapai 89 tahun tiba-tiba berkata: “Saya kira tidak layak menyambut tahu baru dengan pesta. Bukankah tahun baru adalah berita duka?

Bukankah setiap tahun baru mengantarkan kita lebih dekat ke kuburan? Pada tahun-tahun yang lalu, maut telah mengambil kawan-kawan atau keluarga kita. Lalu, siapa yang akan dijemput maut tahun ini?”

Baik ustadz maupun peserta pengajian lain terpana mendengar ucapan tersebut. Sejauh ini, para peserta pengajian dan ustadznya mengetahui bahwa bapak sepuh ini merupakan orang yang taat beribadah kepada Allah Swt.

Setiap menjelang waktu sholat, sebelum adzan dikumandangkan bapak sepuh ini sudah berada di mesjid untuk melaksanakan sholat berjamaah. Di samping itu, bapak sepuh ini merupakan orang yang suka bercanda dan selalu ceria bila bercengkrama bersamanya. Tapi kenapa pada pengajian malam pergantian tahun ini bapak sepuh menunjukkan sikap pesimis. Mungkinkan itu pertanda bahwa boleh jadi tahun ini ia meninggalkan kami?

Setelah pak sepuh menyampaikan hasil renungannya itu, seorang peserta pengajian lainnya, bertanya kepada pak ustadz. “Apakah orang sholeh takut menghadapi kematian?” Pak Ustadz menjawab, “Saya selalu dihantui rasa takut mati. Mungkin karena saya tidak sholeh”.

Pak sepuh itu benar, kata pak ustadz. Tahun baru adalah berita duka. Seperti seorang narapidana yang akan dihukum gantung. Saya melihatnya bahwa setiap dentang jam akan membawanya lebih dekat ke tiang gantungan. Persoalannnya adakah kiat untuk mengobati takut mati?”

Ustadz itu melanjutkan pembicaraannya, semua orang takut mati. Oleh karena itu, orang sholehpun takut mati. Sebagai contoh, salah seorang cucu Rasulullah Saw yang dikenal sebagai orang sholeh dan taat beribadah sehingga digelari dengan Zayn al-Abidin selalu berdoa, “Kepada-Mu aku berlindung dari habisnya usia sebelum siap sedia”.

Apa yang membedakan antara takut matinya kita dengan takut matinya orang sholeh?

Takut mati kita takut mati karena keterikatan dengan dunia. Kalau saya mati, siapa yang akan menjaga kepentingan anak-anak saya, siapa yang akan mengurus perusahaan saya, siapa yang mengamankan kekayaan saya. Sedangkan orang sholeh takut mati karena ia merasa belum cukup bekal. Ia khawatir akan ‘habisnya usia sebelum siap sedia’.

Dalam doa yang lain, Zayn al-’Abidin berkata, “Siapa gerangan yang keadaannya lebih jelek dari diriku, jika dipindahkan dalam keadaanku seperti ini, aku dipindahkan ke kuburanku. Aku belum menyiapkan pembaringanku. Aku belum menghamparkan amal sholeh untuk tikarku.

Bagaimana aku tidak menangis, padahal aku tidak tahu akhir perjalananku. Kulihat nafsu menipuku dan hari-hari melengahkanku. Padahal maut telah mengepak-ngepakan sayapnya di atas kepalaku.

Bagaimana aku tidak menangis, kalau ku kenang saat aku menghembuskan nafas yang terakhir. Aku menangis karena kegelapan kubur, aku menangis karena kesempitan lahanku, aku menangis karena aku akan keluar dari kuburku dalam keadaan telanjang, hina, sambil memikul dosa di atas punggungku”.

Do’a yang dipanjatkan oleh cucu Rasulullah tersebut mengingatkan kita, bahwa memelihara takut mati akan mendorong manusia untuk menyiapkan bekal mengahadapi kematianya. Ingat akan kematian mendorong manusia untuk berbuat baik. Sadar akan kematian, membantu manusia meninggalkan egonya atau hawa nafsunya.

Bila kita harus mengakhiri semuanya dengan kematian, masih layakkah kebiasaan kita untuk terus-menerus mengorbankan orang lain buat kepentingan kita? Bukankah hidup kita menjadi lebih bermakna bila kita “memberikan diri” kita buat kebahagiaan orang lain?

Dengan menghancurkan ego, kita memasukkan orang lain ke dalam eksistensi kita. Hidup yang bermakna adalah kehidupan yang telah menerima orang lain sama dengan diri kita dan mempersiapkan dirinya untuk mati. Demikian, penjelasan ustadz tersebut.

Merenungkan apa yang disampaikan Ustadz tersebut, mengingatkan saya pada doa nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, salah seorang nabi kekasih Allah. “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku (hikmah) kearifan dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalih, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan.”(QS Asy-Syuara [26]: 83-85).

“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS Asy-Syuara [26]: 87-89). Wallahu’alam bi showab