Jalan Panjang Prof Mukti, Anak Band Penjaga Benteng Keadilan

Jalan Panjang Prof Mukti, Anak Band Penjaga Benteng Keadilan
Ketua Komisi Yudisial Prof Mukti Fajar Nur Dewata

MONITORDAY.COM - ... Lusuhnya kain bendera di halaman rumah kitau

Bukan satu alasan untuk kita tinggalkan

Banyaknya persoalan yang datang tak kenal kasihan

Menyerang dalam gelap ...

Selarik bait yang dilantunkan Prof. Mukti Fajar Nur Dewata ini terasa menyayat, kalau saja itu dinyanyikan oleh penyanyi biasa, barangkali tidak akan terlalu istimewa. Bait lagu berjudul 'Sumbang' dari Iwan Fals itu dicover oleh Ketua Komisi Yudisial periode 2021-2023, seorang ahli hukum, pemimpin lembaga negara, tentu saja, lapisan lagu itu jadi lebih bermakna.

Prof Mukti--begitu dia biasa disapa koleganya-- memetik gitar sambil menyanyi lirih di kantor Monday Media Grup, Jakarta. Dua hari sebelumnya, ia baru saja memberikan laporan tahunan kepada publik, pada 9 Maret 2022. Itu kali pertama dia memberikan laporan kerja institusinya melalui melalui Presiden Indonesia, Joko Widodo pemimpin tertinggi negeri. 

Lirik lagu itu memang terdengar seperti nada protes. Lagu yang digubah oleh Iwan Fals itu menggambarkan potret keadaan tentang kusutnya situasi negeri kala itu. Orde Baru, bagaimanapun menyimpan banyak persoalan, bukan saja di eksekutif dan legislatif, lembaga peradilan pun menyimpan problemnya sendiri. 

Memori Prof Mukti tiba-tiba melayang saat dirinya menempuh studi S-2 di Universitas Diponegoro. Menjelang kejatuhan Orde Baru, Prof Mukti yang masih berjiwa rebel itu memimpin dan mengkoordinir ribuan mahasiswa bersama masyarakat umum di Simpang Lima, Semarang.

Di hadapannya telah berjaga ratusan tentara dengan panser yang menghalau gerak mereka, tapi anehnya nyalinya sama sekali tidak ciut, sokongan ribuan massa di belakangnya mempertebal mentalnya. Dari situ dia sadar, bahwa ketidakadilan yang disuarakan rakyat merupakan satu kekuatan besar yang tidak dapat diukur. 

Jalan hidup dan karier Prof Mukti sebetulnya tidak semulus yang dikira banyak orang, dia memang lahir dari kedua orangtua yang berprofesi sebagai akademisi. Namun, cita-cita awalnya adalah menjadi musikus, pelantun lagu, dan bikin band. Gelora muda yang membuncah membuat dia menyalurkan hasrat besarnya lewat bermusik. Tapi orangtuanya berkata lain, menolak. 

Pilihan kemudian diarahkan Prof Mukti untuk menjadi arsitek, dia punya bekal kuat semasa di SMA, mengambil jurusan IPA. Hitung-hitungan, dan ilmu pastinya teruji. Tapi, jalur nasib juga kurang menghendaki. 

Tatkala Prof Mukti menempuh studi S2, Magister Hukum diraihnya pada tahun 2001 dari Universitas Diponegoro. Ia lalu belajar menjadi seorang akademisi, dosen bidang ilmu hukum, "Saya mencoba untuk menjalani, walaupun sempat belum incharge di bidang hukum," ujar Prof Mukti.

Dalam kebimbangan mengikuti arus waktu, Prof Mukti bertemu teman karibnya, ia lantas menceritakan keresahannya itu, teman itu seorang non-muslim. Tapi dia menyarankan Prof Mukti untuk pergi Mekah, menjalani rukun Islam yang terakhir. "Kamu naik haji, tanya sama Tuhan-mu kamu ini akan jadi apa?" kata Prof Mukti menirukan nasihat karibnya.

Saran itu benar-benar dijalankan, tujuannya bukan naik haji, melainkan hanya ingin bertanya kepada Tuhan, di mana lentera hidupnya akan menyala.

Seperti dalam kisah-kisah inspiratif, doa Haji Mukti kemudian terjawab, sepulangnya dari Mekah dia mengambil S-3 di Universitas Indonesia, dan memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia pada 2009. Dari sana kariernya terbuka. 

Komisi Yudisial Sebagai Benteng Keadilan

Menjadi Ketua Komisi Yudisial bukan pilihan awal Prof Mukti, saat mulai mendaftar pun dilaluinya dengan permenunangan yang mendalam. "Saya sudah serahkan kepada Tuhan, saya melihat jabatan sebagai tugas, asal mampu dan mau, di bidang hukum saya punya basisnya."

Awal Januari 2021, Prof Mukti terpilih menjadi Ketua Komisi melalui mekanisme Rapat Pleno Komisioner, resmilah dia menjadi Ketua lembaga negara tersebut.

Dihadapkan pada persoalan peradilan yang pelik, Prof Mukti menilai secara empiris lembaga yudikatif masih terbawa kultur masa lalu. Menurutnya yudikatif ini memiliki kekuasaan penuh untuk menjalankan hukum, terutama hakim selalu wakil Tuhan tidak dapat diintervensi oleh siapapun.

Oleh karena itu, perlu lembaga penyeimbang lembaga peradilan, kekuasaan kehakiman memberikan kewenangan yang besar pada seorang hakim, tentu itu berdasarkan fakta peradilan dan perundangan. Komisi Yudisial berperan di sana.

"Berkahnya di pengalaman yang saya dapat sebagai akademisi selalu melihat hitam putih, sedangkan di lapangan realitasnya lain, itu bagian dari kegelisahan saya. Melalui lembaga ini saya bisa menyumbang sesuatu kepada realitas hukum," ujar Guru Besar UMY.

"Komisi Yudisial bertugas menjaga integritas hakim," kata Prof Mukti, "Tugas wakil tuhan yang harus kita jaga, kalau dia nakal kita awasi, kalau diintervensi kita lindungi, kalau dia kurang update dalam bidang keilmuan, kita kasih peningkatan kapasitas."

Inilah yang menjadi substansi tugas komisi yudisial, dalam upayanya menjaga independensi dengan kekuasaan kehakimannya dapat berjalan lurus dengan kapasitas ilmunya, juga kapasitas moralnya bisa memberikan keputusan bagus. 

Menanggapi masih ada mafia peradilan, mafia kasus, ada sogok menyogok, ada upaya mengintervensi hakim dan lembaga peradilan, Prof Mukti tidak menyangkal. Untuk itu, bersama-sama mitra kerja yaitu Mahkamah Agung, Komisi 3 DPR RI, komisi yudisial membuat benteng agar keadilan itu jangan sampai jebol.

Terobosan yang dilakukannya selama bertugas yaitu berupaya mengubah paradigma lama, bahwa Komisi Yudisial itu merupakan lembaga pengawas eksternal. Sedangkan, hubungan antara yang diawasi dan mengawasi ini satu yang secara sensitif rasa, "Kalau diawasi orang kita merasa risih, sebenarnya harus ada sinergi," ungkapnya.

Sebagai lembaga lembaga penyeimbang, Komisi Yudisial harus mampu melakukan fungsi pengawasan eksternal yang independen sehingga kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat berjalan selaras dengan akuntabilitas peradilan.

Tujuannya satu, agar benteng terakhir keadilan jangan jebol. "Hakim terjaga marwahnya, lembaga peradilannya dipercaya, Komisi Yudisial juga mampu bertindak penunjang kekuasaan hakim. Saya optimis, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum akan meningkat," pungkas Prof Mukti.

Hari sudah menjelang petang, di luar ruangan kantor Monday Media cuaca terlihat mendung. Selama tiga jam, Prof Mukti masih terus mengembangkan senyumnya bersama satu lagu yang dimainkannya lewat petikan gitar kopong. Siapa sangka, kepada musikus gagal itu benteng keadilan kini dipercayakan.