Jakarta (Tidak) Akan Tenggelam

Jakarta (Tidak) Akan Tenggelam
Ancaman banjir Jakarta/ Tim Sepherd-unsplash

MONITORDAY.COM - Joe Biden mencontohkan Jakarta sebagai salah satu kota yang paling cepat tenggelam karena dampak perubahan iklim. Jika yang memberi peringatan itu Presiden Tiongkok Xi Jin Ping mungkin tanggapan dan kontroversinya di tengah masyarakat Indonesia akan lebih riuh lagi. Kepentingan Beijing atas Jakarta sering dipersepsikan lebih kuat daripada kepentingan Washington yang selama ini lebih getol soal isu-isu terkait HAM dan Papua.  

Ancaman Jakarta tenggelam bukan isu baru. Karena diucapkan oleh pemimpin adikuasa maka dunia menaruh perhatian besar. Pesan Biden jelas ditujukan bagi dunia, menyebut Jakarta hanya sebagai ilustrasi. Tentu saja bisa ditafsir sebagai contoh ekstrem tentang dampak bencana global ini. 

Para pemimpin kita tentu telah menyadari ancaman ini. Sebelum pernyataan Biden itu Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengungkapkan bahwa bahaya perubahan iklim lebih besar daripada pandemi. 

Bagi sebagian orang pandemi ini dipercaya sebagai respon alam dalam menciptakan keseimbangan baru. Logikanya, pandemi menekan aktivitas ekonomi dan industri yang telah mendorong perubahan iklim. Manusia dipaksa mengurangi kegiatan merusak bumi yang semakin tak terkendali. 

Jadi siapa yang tak terkendali : perubahan iklim, pandemi ataukah aktivitas manusia yang mengakibatkan pemanasan global?   

Perubahan iklim adalah bencana global. Tak hanya Indonesia yang mengalaminya. Namun kondisi, perilaku dan ketahanan sebuah bangsa akan menentukan tingkat keparahan akibat bencana ini. Tinggal kita mawas diri seberapa serius kita menangani isu ini atau sebaliknya seberapa parah kita merusak alam Indonesia. 

Perubahan iklim mengakibatkan naiknya permukaan laut, pemanasan global, dan mencairnya es di kutub. Banjir di Jerman dan Belanda menjadi salah satu tanda paling baru dari fenomena ini. Hujan lebat yang tidak biasa mengakibatkan bencana. Padahal kedua negara itu memiliki pengalaman, teknologi, dan tata ruang yang tergolong sangat baik dibanding banyak negara lain di dunia.

Bagi Indonesia dampak perubahan iklim terasa di 112 kabupaten/ kota. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang. Tak kurang Rp 1000 Triliun kerugian atau biaya yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak ini. Pulau Jawa yang padat penduduk menjadi yang paling terdampak. Jakarta, Pekalongan, Semarang dan kota-kota di sepanjang Pantai Utara Jawa harus berjuang keras melawan fenomena ini. 

Jakarta menjadi salah satu kota yang diprediksi akan paling cepat terendam. Pada 20 Februari 2021, banjir menyebabkan 113 wilayah di Jakarta terendam. Penurunan tanah terjadi terus-menerus. Beberapa lokasi di Jakarta memang dari dulu merupakan rawa-rawa. Amblesnya tanah karena penyedotan air tanah membuat sebagian Jakarta lebih rendah dari permukaan laut. Jika air pasang, banjir rob pun merendamnya. 

Jakarta tentu harus mengantisipasinya. Kebijakan Pemerintah dalam membangun harus didasarkan pada fakta sains. Termasuk isu perubahan iklim dan dampak-dampak turunannya. Jakarta harus sadar diri sebelum semuanya terlambat. Meski demikian kita harus realistis bahwa investasi untuk membangun tanggul raksasa dan berbagai kebijakan lainnya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.  

Salah satu kebijakan yang layak didukung untuk mengurangi beban Jakarta adalah pemindahan ibukota. Dan mengingat beban Pulau Jawa maka pilihan untuk memindahkan ibukota ke Kalimantan semakin masuk akal. Yang harus direncanakan adalah pembangunan ibukota baru harus berwawasan lingkungan. Kehadirannya harus menekan laju kerusakan lingkungan. 

Keputusan pemindahan ibukota bukan didasarkan pada kepentingan jangka pendek. Jakarta dan pada umumnya Pulau Jawa sangat padat penduduknya. Hal ini mengakibatkan roda ekonomi kurang terdistribusi ke pulau-pulau lainnya. Kepadatan penduduk di Jawa juga mengakibatkan krisis ketersediaan air. Ancaman krisis air ini mengancam kesejahteraan penduduk sekaligus mengancam ketersediaan air tanah dan turunnya permukaan tanah. Konversi lahan di Pulau Jawa sudah sangat mencemaskan. 

Indonesia dan khususnya Jakarta membutuhkan pemimpin yang memiliki visi ke depan, berani mengambil keputusan, dan mendasarkan keputusannya pada ilmu pengetahuan atau sains. Jakarta tidak akan tenggelam jika kita mampu mengambil keputusan dan langkah pasti. Demi kepentingan bangsa, dengan mempertimbangkan segala aspeknya.  

Kepindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan sudah dirintis. Realisasinya sangat bergantung pada siapa yang kelak akan meneruskan kepemimpinan nasional. Jika pengganti Jokowi memiliki karakter yang kuat sebagaimana kriteria di atas maka hatrapan untuk menyelamatkan Jakarta dan Pulau Jawa demi kesejahteraan Indonesia seluruhnya akan terwujud.