Istana Klaim UU Cipta Kerja Bantu Nelayan Naik Kelas

Dengan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya maka definisi nelayan akan dipadankan dengan kategori UMKM, sehingga dapat mendorong para nelayan untuk memperoleh akses permodalan dari perbankan, serta bantuan pemerintah lebih tepat sasaran.

Istana Klaim UU Cipta Kerja Bantu Nelayan Naik Kelas
Ilustrasi/ Net

​​​​​MONITORDAY.COM - Tenaga Ahli Utama Kedeputian I Kantor Staf Presiden (KSP) Alan F Koropitan mengklaim UU Cipta Kerja menjadi solusi untuk membantu nelayan nasional naik kelas, bahkan memperoleh akses permodalan perbankan.

"Dengan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya maka definisi nelayan akan dipadankan dengan kategori UMKM, sehingga dapat mendorong para nelayan untuk memperoleh akses permodalan dari perbankan, serta bantuan pemerintah lebih tepat sasaran,” kata Alan dalam siaran persnya, Senin (9/11).

Lebih lanjut, Alan mengatakan, Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur sektor maritim agar lebih memiliki daya saing. Sehingga dapat memperkuat peran nelayan dan melindungi nelayan dengan pertimbangan yang menyeluruh.

Alan menambahkan, dalam hal definisi nelayan, UU Ciptaker mempertimbangkan aspek holistik yaitu tidak hanya melihat kapasitas usaha dari ukuran kapal, namun juga modal usaha khususnya dari dalam negeri sehingga nelayan bisa naik kelas.

“Misalnya, pemilik kapal di bawah 10 Gross Ton (GT), tapi punya modal besar dan mesin kapasitas besar. Ini tidak bisa masuk kategori nelayan kecil. Negara akan mengatur melalui UU Cipta Kerja dengan aturan turunan melalui RPP,” ungkapnya.

Selain itu, Alan menilai UU Cipta Kerja juga akan mempertajam definisi terkait sektor kelautan, agar kian memperkuat pengelolaan yang tepat sasaran.

Adapaun, Alan menuturkan 96 persen kapal ikan berada di bawah 10 GT, di mana 68 persen di antaranya merupakan perahu motor tempel dan perahu tanpa motor yang tidak mungkin berlayar ke area Zona Ekonomi Eksklusif.

Menurut Alan, pemerintah memiliki semangat nasionalisme tinggi, terutama dalam hal kedaulatan negara. Salah satunya mengenai aturan akses asing terhadap pengelolaan perikanan, khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Alan menyampaikan kedaulatan wilayah itu hanya berlaku untuk perairan teritorial, bukan ZEE.

“Tapi kita memiliki hak berdaulat di ZEE, yang meliputi hak eksplorasi, eksploitasi dan pemeliharaan keberlanjutan lingkungan,” imbuh Alan.

Alan pun menegaskan pemerintah akan memastikan bahwa UU Cipta Kerja selaras dengan Undang-undang Perikanan sebelumnya, dimana tetap menegaskan akses asing harus didahului dengan perjanjian perikanan bilateral.

“Artinya kan kita berhak memberi izin atau tidak terhadap kapal asing,” ucapnya.

Sedangkan saat ini Indonesia tidak membuka izin masuk kapal asing, sesuai Perpres 44 tahun 2016 dimana mengatur larangan adanya keikutsertaan modal asing di sektor penangkapan ikan.

Disisi lain, pemerintah sudah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS) tentang kesanggupan Pemerintah Indonesia dalam mengelola sektor kelautan.

Dalam Pasal 5 ayat (3) UU No 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia disebutkan, eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah tertentu di ZEE Indonesia oleh pihak asing, dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tertentu, melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya.

Hal ini pernah berlangsung pada tahun 2001 hingga 2006. Indonesia pernah memberi kesempatan kepada pihak asing seperti Thailand, Filipina dan China untuk menangkap ikan di ZEE dalam perjanjian kerjasama bilateral.

“Jika Indonesia sanggup mengelola sepenuhnya maka artinya Indonesia mampu dan tidak perlu melibatkan asing,” urai Alan.