Indonesia Butuh Mahkamah Ideologi

Mahkamah ideologi yang berfungsi untuk mengoreksi penerapan kebijakan-kebijkan pemerintah yang bertentangan dengan Pancasila.

Indonesia Butuh Mahkamah Ideologi
Istimewa.

MONDAYREVIEW.COM –  Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Bahtiar Effendi mengatakan saat ini Indonesia membutuhkan mahkamah ideologi yang berfungsi untuk mengoreksi penerapan kebijakan-kebijkan pemerintah yang bertentangan dengan Pancasila.

Menurutnya, pihak-pihak yang menyebut kesenjangan sedang terjadi di Indonesia selama ini adalah tidak memahami Pancasila. Pasalnya, perbedaan yang amat jauh lebih disebut sebagai intoleransi dalam ekonomi.  "Dan itu (intoleransi dalam ekonomi) justru yang bertentangan dengan Pancasila," katanya dalam seminar bertajuk 'Merawat Identitas Kebangsaan dan Meneguhkan NKRI' di kampus Universitas Hamka, Jakarta, Kamis (13/7).

Selain Bahtiar, juga hadir sebagai pembicara dalam seminar yang digelar IMM DKI Jakarta dan Pusat Studi Buya Hamka tersebut Dr. M. Alfan Alfian (Majelis Hikmah PP Muhammadiyah),  Andar Nubowo, DEA (Direkur Lazismu),  dan dr. Rizki Edmi Edison, Ph.D (Dewan Riset Neurosains). Sementara dosen Uhamka  yang juga mantan Ketua Umum IMM Ciputat, Tohirin, M. Pd, sebagai moderator.  

Bahtiar menyinggung jika ada pihak yang ingin memisahkan politik dari agama sudah bertentangan dengan Pancasila pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. "Kemudian ada yang memperhadapkan NKRI dengan ideologisasi agama sebagai musuh, adalah tidak paham sejarah. Sebab musuh NKRI adalah federalisme, bahkan Soekarno-Hatta pun tidak bisa mempertahankan NKRI ketika menerima Republik Indonesia Serikat," paparnya.

Justru, sambungnya, Ketua Fraksi Masyumi di  Parlemen M. Natsir yang berjuang pada April 1950 dan disetujui pada Agustus 1950 dengan mosi integralnya mengembalikan Indonesia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Karena itu, Soekarno bilang yang pantas memimpin pemerintahan adalah Natsir pada saat itu," ungkapnya.

Selain itu, Ia menuturkan bahwa sistem politik di Indoensia sangat buruk yang menggunakan sistem winner takes all. Sehingga terjadi politik balas dendam.  "Semua lawan politik disingkirkan meski selisih tidak sampai 10 persen. Lantas di mana pengakuan 46 persen suara tersebut. Kemudian yang parah, semua dikuasai oleh teman-teman, relawan. Entah mampu, bisa ataupun tidak tidak penting," jelasnya.