Ujian Mandiri dan Komersialisasi Pendidikan

Jika dahulu perguruan tinggi negeri dipilih karena murahnya, hari ini biaya masuk PTN dan PTS hampir sama saja.

Ujian Mandiri dan Komersialisasi Pendidikan
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM – Dalam pembukaan UUD 1945, tujuan pertama dari negara kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam bahasa yang lebih teknis, negara mempunyai tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsanya. Upaya pencerdasan bangsa adalah melalui pendidikan. Pendidikan formal diperoleh melalui aktifitas persekolahan dari mulai tingkat dasar, menengah dan tinggi. Pemerintah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun, yakni sampai tingkat SMP.

Untuk akses terhadap pendidikan, bagi seluruh sekolah pemerintah menyediakan BOS. Bagi sekolah negeri BOS mencukupi untuk melaksanakan operasional sekolah. Bagi sekolah swasta yang mematok tarif tinggi, sumber pemasukan utama adalah SPP dari orang tua murid. BOS hanya sebagai pendukung saja. Semakin tinggi pendidikan di Indonesia, semakin sulit masyarakat untuk mengaksesnya. Ada sebuah sindiran yang cukup keras dari Eko Prasetyo, aktivis sosial Yogyakarta. Bunyinya, orang miskin dilarang sekolah.

Sulitnya akses pendidikan ini paling menonjol dalam penerimaan mahasiswa perguruan tinggi. Ada perbedaan perguruan tinggi negeri di masa lalu dengan masa kini. Pada masa lalu, untuk dapat masuk perguruan tinggi negeri yang dibutuhkan murni kemampuan dan kecerdasan. Persoalan biaya tidak menjadi soal. Banyak yang memilih perguruan tinggi negeri bukan karena gengsi, namun karena murahnya. Sebaliknya, perguruan tinggi swasta hanya dapat dijangkau oleh kelompok mahasiswa yang mampu secara finansial.

Namun zaman berubah, persaingan memasuki perguruan tinggi menjadi semakin ketat. Tak hanya kemampuan dan kecerdasan, soal finansial pun dapat menentukan. Jika dahulu perguruan tinggi negeri dipilih karena murahnya, hari ini biaya masuk PTN dan PTS hampir sama saja. Tak ada lagi kelebihan PTN dibanding PTS selain gengsinya yang lebih tinggi. Terlebih setelah disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, dimana perguruan tinggi menjadi semacam perusahaan. Adanya UU ini diharapkan perguruan tinggi bisa mandiri lewat pemasukan dari biaya kuliah, tidak sepenuhnya bergantung kepada pemerintah.

Di sinilah komersialisasi pendidikan mulai menjalar ke semua lini. Lantas, salahkan komersialisasi pendidikan? Jika kita timbang lewat UUD 1945, komersialisasi pendidikan tidak dapat dibenarkan pada lembaga pendidikan milik negara. Adapun jika dilakukan oleh swasta maka itu sah-sah saja. Hal ini terlihat jelas pada diadakannya ujian mandiri bagi para calon mahasiswa yang gagal dalam UTBK dan SNMPTN. Yang unik dalam ujian mandiri, seorang calon mahasiswa mencantumkan kesanggupan untuk membayar uang kuliah kampus. Semakin tinggi nominalnya semakin dia berpeluang diterima menjadi mahasiswa.

Praktik ini jelas menunjukan bahwa factor finansial lebih menentukan dibanding potensi akademik calon mahasiswa. Artinya tak perlu pintar, asal punya banyak uang anda punya peluang tinggi untuk bisa masuk PTN. Memang pemerintah masih membuka akses untuk mahasiswa dari kalangan tidak mampu, yakni melalui beasiswa bidikmidi dan KIP Kuliah. Pemerintah juga tidak lepas tangan sepenuhnya dalam mensubsidi PTN. Namun jelas praktik komersialisasi pendidikan dalam lembaga pendidikan negeri tetap layak dikritisi. Karena bertentangan dengan cita-cita luhur pendiri bangsa.