Ikhtiar Pemerintah Melawan Ekstremisme

MONITORDAY.COM - Radikalisme dan ekstremisme merupakan salah satu permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Persoalan ini sama berbahayanya dengan korupsi, perusakan lingkungan, kemiskinan dan segudang permasalahan lainnya. Guna mengatasi persoalan tersebut, diperlukan pembudayaan toleransi dan moderasi di kalangan masyarakat. Hal ini terus disuarakan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil baik di dunia nyata maupun maya.
Lantas bagaimana komitmen pemerintah dalam pemberantasan radikalisme dan ekstremisme? Banyak skeptisisme muncul mengingat suburnya kasus intoleransi dan radikalisme di tengah masyarakat. Misalnya kasus sulitnya mendirikan ibadah bagi minoritas. Terlepas dari adanya aturan berupa SKB mengenai pendirian rumah ibadah, namun penolakan pendirian rumah ibadah oleh kelompok yang merasa terancam selalu diiringi dengan sentimen SARA. Hal ini menunjukan potensi-potensi intoleransi, radikalisme bahkan ekstremisme masih kuat di masyarakat.
Berulang kali Presiden Jokowi dipertanyakan komitmennya terkait keberagamaan dan toleransi. Beragam tuntutan tersebut mulai menemukan titik terang. Presiden akan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 terkait penanggulangan ekstremisme. Hal ini menjadi harapan baru bagi para pegiat toleransi dan moderasi karena bisa menjadi landasan hukum yang menguatkan gerakan selama ini.
Dalam pemaparannya, Presiden Jokowi mengatakan masyarakat harus terlibat aktif dalam pencegahan ekstremisme. Salah satunya adalah dengan mengawasi lingkungan sekitar dari individu atau kelompok ekstrem. Hal ini membuat beberapa pihak mengkritik pernyataan tersebut. Misalnya YLBHI mengkhawatirkan salah tafsir dari perpres ini yang membuat kebebasan masyarakat terkekang. Banyak juga yang curiga bahwa perpres ini merupakan bentuk dari tindakan otoriter pemerintah dengan gaya baru.
Menanggapi hal tersebut, dilansir dari kantor berita Antara, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan penerbitan Perpres Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme harus dilihat secara rasional. Perpres itu mengatur pelatihan kepada masyarakat tentang aksi pencegahan dan penanggulangan ekstremisme.
Dia mengatakan jumlah polisi di Indonesia yakni sekitar 470.000 personel, sementara jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa sehingga jika dihitung, satu polisi harus mengelola kurang lebih 500 orang masyarakat. Pertimbangan lainnya, yakni pasca-reformasi ada kekhawatiran berbicara mengenai kewaspadaan. Padahal kewaspadaan itu menjadi sangat penting.
Berikutnya terkait persoalan kamtibmas yang tidak bisa hanya ditangani oleh kepolisian, negara, pemerintah dan pemda, maka perlu pelibatan seluruh masyarakat Indonesia. Terlebih kata dia, Perpres didukung kelompok sipil. Moeldoko mengajak publik memahami dengan baik bahwa dalam situasi yang seperti saat ini, keterlibatan seluruh masyarakat, perlu disambut bersama. Adapun pelatihan terhadap masyarakat sebagaimana diatur dalam Perpres itu dimaksudkan untuk membangun kesadaran agar masyarakat berkontribusi atas situasi di wilayahnya masing-masing.