Wabah Gerakan Anti Masker di Dunia

Ratusan warga London memadati Taman Hyde untuk menolak kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan masker saat mengunjungi toko dan supermarket mulai 24 Juli.

Wabah Gerakan Anti Masker di Dunia
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM ­– Selama pandemi, dua hal yang kita hadapi sekaligus, pertama adalah Covid-19 dan yang kedua adalah covidiot. Covidiot adalah istilah gabungan antara covid dan idiot. Menunjuk kepada sekelompok orang yang bersikap tidak ilmiah dalam menghadapi covid-19. Mereka rata-rata percaya teori konspirasi bahwa covid-19 adalah buatan elite global. Mereka juga percaya bahwa covid-19 tidak seberbahaya yang digembar-gemborkan media. Efeknya adalah sikap meremehkan Covid-19. Tak hanya berwacana, mereka nekad membuat aksi di dunia nyata berupa gerakan anti masker.

Minggu (19/7) lalu, ratusan warga London memadati Taman Hyde untuk menolak kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan masker saat mengunjungi toko dan supermarket mulai 24 Juli. Minggu (19/7) lalu, ratusan warga London memadati Taman Hyde untuk menolak kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan masker saat mengunjungi toko dan supermarket mulai 24 Juli. Aksi protes tersebut diinisiasi oleh “gerakan” Keep Britain Free yang dibentuk Simon Dolan, pengusaha Inggris yang tinggal di Monako dan memiliki kekayaan pribadi sebesar £142 juta (Rp2,6 triliun). Awal tahun ini, Simon melakukan penggalangan dana untuk menantang pemerintah Inggris secara hukum atas peraturan lockdown.

Gerakan anti masker akhirnya malah memakan korban aktifisnya sendiri. Seorang pria bernama Richard Rose di Ohio, Amerika Serikat, meninggal dunia karena virus corona. Kematiannya menyita perhatian publik karena Rose kerap mem-posting berbagai pernyataan yang kontroversial. Rose menganggap pandemi sebagai ‘hype’ dan meragukan virus corona yang tengah menyebar di negaranya. Ia menuding partai demokrat sengaja membesar-besarkan wabah COVID-19. Ia bahkan tidak mau memakai masker selama masa pandemi berlangsung. Pada 1 Juli 2020, ia kembali posting sebuah pernyataan, namun unggahan kali ini sedikit berbeda. Alih-alih mencibir dan mengkritik corona, ia justru mengaku telah terinfeksi virus mematikan tersebut dan mengalami gejala-gejala seperti Covid-19.

Menghadapi gerakan anti masker, platform facebook melakukan tindakan tegas dengan menutup grup anti masker. Grup facebook tersebut dianggap telah menyebarkan banyak hoax terkait pandemic Covid-19. grup tersebut bernama Unmasking America yang memilki lebih dari 9.600 pengguna aktif terdaftar sebagai anggotanya. Anggota Unmasking America itu melabeli grup mereka sebagai wadah berbagi informasi terkait kebenaran penggunaan masker yang bertolak belakang dengan imbauan pemerintah. Salah satu informasi terkemuka yang membuat Facebook percaya diri menghapus grup tersebut yakni klaim bahwa masker menghalangi asupan oksigen dan memiliki dampak buruk terhadap psikologis penggunanya.

Facebook mengungkapkan, grup Unmaskin America hanya satu dari sekian banyak grup yang mendeklarasikan gerakan anti masker. Beberapa grup sudah mengubah pengaturan privasi mereka agar tidak sembarang pengguna bisa mengakses informasi yang dibagikan para anggota komunitas tersebut. Grup Unmasking America tentu bertentangan dengan imbauan Pemerintah Amerika Serikat dan Center for Disease Control (CDC) yang mewajibkan penggunaan masker di ruang publik demi meminimalisir penularan virus corona saat bertemu banyak orang dalam satu area.

Tak hanya di mancanegara, di Indonesia pun muncul gerakan yang mirip dengan gerakan anti masker di belahan dunia lainnya. Adalah Jerinx drummer grup band Superman Is Dead yang menggalang massa untuk melakukan unjuk rasa menolak rapid dan swab test sebagai syarat masuk ke Provinsi Bali. Jerinx melakukan aksi dengan sekelompok massa tanpa menggunakan masker. Sebagaimana kita ketahui sejak awal Jerinx adalah penganut teori konspirasi yang meremehkan eksistensi Covid-19. Menanggapi aksi tersebut, Gubernur Provinsi Bali belum berencana memanggil atau memberikan sanksi kepada Jerinx SID.