Bekal Utama Menjalankan Puasa

MONITORDAY.COM - Puasa menurut KBBI berkaitan dengan aktivitas menghindari makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja terutama bertalian dengan keagamaan. Puasa dalam al-qur’an diungkapkan melalui dua kata, yaitu: Shaum dan Shiyam.
Shaum tercantum dalam al-qur’an terkait dengan kisah seorang perempuan suci yang melahirkan Nabi Isa ‘alaihi salam (a.s) yaitu Maryam.
Ketika Maryam melahirkan Nabi Isa a.s sebagian kalangan Bani Israil menuduhnya dengan tuduhan yang keji (dituduh telah berzinah). Untuk meringankan beban psikologis yang dihadapi oleh Maryam Allah berfirman:”maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar shaum (berpuasa) untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (QS,. Maryam [19]:26).
Sebagian besar ulama menafsirkan bahwa shaum merupakan aktivitas yang dilakukan untuk menghindarkan diri melakukan sesuatu. Menghindari bicara, menghindari makan, dan menghindari minum merupakan beberapa contoh shaum. Dengan demikian shaum mempunyai arti menghindarkan diri dari sesuatu yang bersifat umum baik dari sisi objek yang dihindarinya, waktu pelaksanaannya, maupun jenis aktivitasnya.
Kata Shiam berikut turunannya disebut 13 kali dalam al-qur’an. Salah satu diantaranya tercantum dalam surat al-baqarah:”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu shiam (berpuasa) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.(QS.al-Baqarah [2]:183).
Pada ayat 183 tersebut perintah shiam dikaitkan dengan latar belakang dan tujuannya. Bila ditelusuri lebih lanjut ke ayat 184,185, dan 187 surat al-baqarah tersebut, Allah Swt menjelaskan shiam secara rinci.
Pertama, Allah Swt menjelaskan bahwa syiam (puasa) dilaksanakan pada bulan Ramadhan (tercantum pada awal ayat 184 dan awal ayat 186). Kedua, Allah menjelaskan bahwa yang wajib melaksanakan syiam di bulan Ramadhan adalah mereka yang masih hidup, dalam keadaan sehat, dan berada ditempat atau tidak melakukan perjalanan, serta tidak dalam kondisi yang lemah baik secara fisik, karena beban pekerjaan, dan lain sebagainya.
Ketiga, bagi yang berhalangan untuk melaksanakan syiam pada bulan Ramadhan atau terganggu sehingga tidak penuh melaksanakan shyiamnya, Allah memerintahkan agar menyempurnakan bilangan syiamnya pada hari lain, atau bagi yang lemah kondisinya dapat diganti dengan menunjukan kepedulian kepada orang miskin melalui cara memberi makan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan jika lebih dari ketentuan itu lebih baik.
Dan, setelah selesai menyempurnakan bilangan syiam Allah Swt memerintahkan agar secara konsiten mengagungkan Allah Swt selama menjalani hidup di dunia sebagai tanda syukur atas karunianya (al-baqarah ayat 184 dan 185). Keempat, hal yang dihindari dalam melaksanakan syiam adalah, makan, minum, dan memenuhi kebutuhan biologis (tercantum dalam ayat 187 surat al- baqarah)
Mengacu pada uraian yang tercantum pada rangkaian ayat 184, 185, dan 187 surat al-baqarah tersebut, para ulama memaknai bahwa syiam berkaitan dengan menghindarkan diri dari makan, minum, dan hubungan biologis dengan ketentuan yang sudah dijelaskan secara rinci. Dengan demikian shaum diartikan puasa yang bersifat umum atau dikalangan tasauf disebut puasa tarekat sementara Shiam diartikan puasa yang bersifat khusus atau disebut puasa syariat.
Melaksanakan puasa tidak ubahnya seperti melaksanakan aktivitas lain dalam kehidupan manusia sehari-hari. Agar pelaksanaan puasa sesuai dengan yang diharapkan oleh Allah Swt tentu saja diperlukan bekal yang memadai. Apa saja bekal yang diperlukan dalam melaksanakan puasa ramadhan?
Secara umum paling tidak ada tiga bekal utama yang dapat menjadikan puasa menjadi efektif dan mencapai sasaran secara akurat yaitu pribadi muttaqin. Bekal utama menjalankan puasa Ramadhan, yaitu:
Pertama, Iman. Hal ini sesuai dengan ayat 183 surat al-baqarah bahwa berpuasa diwajibkan hanya bagi orang yang beriman. Iman menjadi salah satu pondasi kepercayaan dalam agama islam. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan kepada kitab (al-quran) yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya."*Q.S.an-Nissa [5]:136)
Iman Kepada Allah Swt idealnya direfleksikan dengan keyakinan yang utuh. Hal ini dapat dimaknai bahwa Allah Swt bukan hanya sebagai Tuhan (Ilah) yang harus disembah tetapi juga sebagai pencipta (khaliq), penguasa (Malik), dan pemelihara (Rabb) makhluq ciptaannya dengan sistem pemeliharaan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan makhluk-Nya.
Dengan keimanan yang utuh ini, maka kewajiban puasa bagi makluknya dapat dipahami sebagai cara Alloh Swt yang memiliki kewenangan mutlak untuk memelihara manusia sebagai makhluk-Nya dalam menjaga dan mengembangkan potensi jasmaniah dan ruhaniahnya.
Kedua, Ilmu. Ilmu merupakan cahaya pendukung bagi kokohnya Iman. Allah Swt telah mengingatkan manusia melalui firman-Nya:”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS.al-Isra [17]:36).
Untuk melaksanakan puasa Ramadhan paling tidak diperlukan pengetahuan terkait dengan: 1) penentuan waktu masuknya bulan ramadhan; 2) amalan-amalan wajib yang harus dilakukan; 3) amalan-amalan sunah yang di sarankan; 4) larangan-larangan yang harus dijauhi, 5) keringanan pelaksanaan puasa bagi yang tidak memenuhi kritera sehat dan berada ditempat, dan; 6) hikmah serta keberkahan yang akan diraih oleh yang melaksanakan puasa.
Dengan ilmu yang memadai tentang semua itu, puasa dapat tunaikan secara efektif dan berkualitas. Berbeda dengan puasa ramadhan yang berbasis tradisi, hasil puasa ramadhan yang berbasis ilmu akan tepat sasaran sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan Allah Swt yaitu terwujudnya pribadi muttaqin.
Ketiga, Ikhtisab. Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang berpuasa di bulan ramadhan dengan dasar iman dan ikhtisab Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).
Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang selalu berkeluh kesah. Dengan keluh kesah tersebut manusia menjadi rentan untuk melakukan berbagai kesalahan. Akibat kesalahan yang dilakukannnya maka akan menjadikan noda hitam dalam dirinya dan noda tersebut merupakan dosa akibat perbuatan jeleknya.
Setiap amal perbuatan manusia akan selalu tercatat disisi Allah Swt karena selama hidupnya manusia akan selalu di awasi. Firman Alloh Swt:“Setiap diri pasti ada yang mengawasi (menjaga)nya”(QS. at-Tariq [86]:5).
Di samping itu, semua amal perbuatan manusia akan kembali pada Allah Swt dan akan dihisab serta diminta pertanggung jawaban dihadapan-Nya. :”Sungguh, kepada Kamilah mereka kembali, kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kamilah membuat perhitungan atas mereka” (QS.al-Ghosiyah [88]:25-26).
Ikhtisab dalam konteks bahasa arab memiliki akar kata yang sama dengan hisab (menghitung). Dengan demikian, ikhtisab dapat di artikan antara lain melakukan introspeksi dan koreksi diri.
Instrospeksi ikhtiar yang dilakukan manusia berkaitan dengan identifikasi perbuatan dosa dan perbuatan baik yang sudah dilakukan sepanjang hidup paling tidak selama satu tahun. Kemudian membandingkan secara kuantitatif maupun kualitatif rasio perbuatan dosa dan perbuatan baik tersebut. Berdasarkan rasio tersebut atas dasar kesadaran pribadi tumbuhlah motivasi dalam jiwa untuk melakukan koreksi diri.
Koreksi diri, dapat dimaknasi sebagai ikhtiar manusia yang dilakukan dengan cara meningkatkan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan dosa sepanjang menjalani kehidupannya di dunia.
Dengan demikian, Ihtisab merupakan metode yang efektif dalam meningkatkan kualtitas puasa Ramadhan. Wallohu ‘alam bi showab.