Keberkahan Bisnis Nurhayati

MONITORDAY.COM - SAYA termasuk golongan yang meyakini jika ada banyak kesuksesan seseorang yang tak bisa diilmiahkan. Kendati seringkali rumus kesuksesan berhasil ditemukan dengan bantuan ilmu marketing modern.
Seperti dialami Ibu Nurhayatai Subakat, bos PT Paragon Technology and Innovation atau brand kecantikan merk Wardah. Selain karena ketangguhan dan inovasi, kesuksesan yang diraih ibu dari 3 orang anak ini adalah faktor di luar nalar ilmiah.
Saya bertemu Bu Nurhayati kemarin. Melalui layar zoom, di acara diskusi rutin bulanan yang dihelat Majlis Dikti PP Muhammadiyah.
Saya menyimak apa yang dipaparkan Ibu Nurhayati dengan seksama. Ia sampaikan, jika apa yang diraihnya saat ini gegara 5 core values yang ia jalankan selama ini.
Kelima prinsip itu, kata dia, yaitu ketuhanan, kepedulian, kerendahan hati, ketangguhan dan inovasi. Menurut Nurhayati, kelima nilai tersebut telah membantu PT Paragon menjadi perusahaan yang bermanfaat, bertumbuh, dan berkelanjutan dengan kebermaknaan dalam setiap prosesnya.
Cerita sukses Wakil Ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah ini, menurutnya, berawal dari home industri. Kini PT Paragon telah menjadi perusahaan kosmetik terbesar di Indonesia dengan memiliki 10.000 karyawan juga mempunyai 40 pusat distribusi.
Nurhayati menjelaskan juga, jika kesuksesan PT Paragon bertumpu pada pesan ayahnya yang juga Ketua Muhammadiyah di Padang Panjang yang menekankan pada nilai-nilai dalam keluarga. “Ayah kami memberikan nilai filosofis penting akan pentingnya visioner, iptek, peduli lingkungan masyarakat dan supportive serta motivative,” ujarnya.
Saya jadi teringat kisah kesuksesan Abdurrahman bin Auf dalam mengelola bisnisnya. Sejarah mencatat, Abdurrahman bin Auf merupakan sahabat Rasulullah saw. yang kaya raya dan terkenal akan kegemarannya untuk bersedekah di jalan Allah Swt.
Sama seperti Nurhayati Subakti, Abdurrahamn bin Auf juga berhasil karena dididik sang ayah tentang pentingya menepati janji dan mencintai sesama. Hingga nilai bijaksana, setia, dermawan terus melekat padanya.
Abdurrahman bin Auf lahir pada tahun ke-10 tahun gajah. Itu artinya Abdurrahman bin Auf kira-kira 10 tahun lebih muda dari Rasulullah. Ketika hijrah ke Madinah, kira-kira usianya 40-an tahun.
Sebelum hijrah ke Madinah, Abdurrahman bin Auf sejatinya sudah dikenal sebagai pengusaha sukses. Namun kemudian semua harta kekayaannya ia tinggalkan di Kota Makkah. Sampai di Madinah, Abdurahman bin Auf hanya membawa sehelai baju saja.
Di kota yang dulu bernama Yatsrib ini, Rasulullah mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Anshar. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi.
Sa’ad termasuk orang kaya di antara penduduk Madinah, ia berniat membantu saudaranya dengan sepenuh hati, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya berkata, “tunjukkanlah padaku dimana letak pasar di kota ini!”
Abdurrahman lantas mulai berdagang di Madinah. Menjual apa saja yang ia rasa bisa menghasilkan cuan secara halal. Hingga akhirnya ia berhasil kembali menjadi pebisnis sukses. Konon, setelah 20 tahun lamanya ia berdagang di Madinah, total harta kekayaan yang berhasil ia kumpulkan adalah sebesar 6 triliyun.
Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana Abdurrahman bin Auf membangun bisnisnya di Madinah. Apalagi kita tahu, jika ketika pertama sampai di Kota Madinah, pasar-pasar di sana dikuasai para pedagang dari Kaum Yahudi. Pasar-pasar itu terkenal penuh kecurangan. Itulah mengapa Rasulullah membangun pasar pertamanya di dekat Perkampungan Bani Sa’idah.
Jika menggunakan logika akal semata, maka mustahil Abdurrahman bin Auf bisa mengumpulkan harta sebesar 6 triliun dengan kondisi pasar muslim yang sederhana dan pasar-pasar lainnya yang dikuasai orang-orang Yahudi.
Baik yang dialami Abdurrahman bin Auf, maupun Nurhayati Subakti sejatinya hanya bisa dipahami dengan memadukan mantik rasa dan mantik akal. Meminjam tipologinya Ibnu Arabi sebagai metode kasf atau penyingkapan, atau hikmah muta’aliyah dalam bahasanya Mulla Sadra.
Kisah hijrah Abdurahman bin Auf yang menyebabkan ia jatuh miskin dan peristiwa kebakaran yang dialami Nurhayati Subakti dan hampir membuatnya menutup usahanya, adalah peristiwa-peristiwa yang tak bisa diungkap nalar, namun kemudian menjadi titik balik setelah upaya yang dilakukan keduanya untuk mendekati Allah Swt.
Kulminasi dari upaya yang dilakukan keduanya tesebut adalah apa yang biasa kita sebut sebagai keberkahan, hidayah dan nikmat. Karena jika bukan karena kehendak yang kuasa, maka mustahil Abdurrahman bin Auf bisa mengumpulkan valuasi 6 triliun dalam 20 tahun saja. begitu juga dengan bisnis Nurhayati Subakti mustahil ia bisa bagkit dari keterpurukan lalu beraih sukses.
Ketika menjalankan sebuah bisnis, maka seringkali kita menghadapi ujian yang dalam ekonomi modern tak bisa kita kalkulasikan. Bahkan, lebih sering disebut sebagai faktor eksternalitas. Hanya dengan mantik rasa lah kita bisa memahaminya, lalu berusaha keluar dari ujian tersebut dengan keimanan dan ketakwaan.
Jika kita turunkan dalam praktek mudharabah, maka apa yang disebut resiko tinggi (moral hazard) gegara asimetric information, kurangnya pengetahuan teknis, rendahnya kualitas, hingga rendahnya kepercayaan (trust) niscaya dapat diatasi (Surah al-A’raf [7]: 96). Jika sudah dapat diatasi, maka bisnis yang kita jalani pun akan dipenuhi keberkahan, hidayah dan nikmat yang terkadang tak disangka-sangka (min haytsu la yahtasib).