Hidup Berdampingan dengan Virus

PANDEMI Covid-19 sudah 2 tahun berlangsung. Tapi hingga kini, belum ada tanda-tanda akan rampung.
Memang ada tren penurunan kasus Covid-19 di Indonesia. Tapi kita harus wanti-wanti, karena boleh jadi akan ada kenaikan kasus kembali.
Tak boleh sedikitpun kita abai apalagi menganggap remeh. Sebaliknya, kita harus tetap waspada. Lihatlah bagaimana lonjakan kasus Covid-19 malah kembali terjadi di Amerika dan Inggris. Dua negara yang hampir semua warganya sudah divaksinasi.
Itu makin menampar pipi kita, agar tak terbuai dengan capaian vaksinasi. Vaksinasi bukanlah segalanya. Ada yang harus tetap kita perjuangakan, yaitu penguatan sistem kesehatan nasional.
Apalagi sejauh ini baru 15 persen populasi dunia yang mendapatkan vaksin Covid-19, dan lebih dari 100 negara menginokulasi kurang dari 5 persen penduduknya.
Hampir semua epidemolog bersepakat soal ini. Jika pandemi Covid-19 belum akan berlalu. Larry Brilliant misalnya, Epidemolog dan Tim WHO ini memprediksi pandemi tak akan segera berakhir.
Ahli epidemologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, juga punya prediksi nyaris sama. Menurutnya status pandemi Covid-19 paling cepat berakhir tahun 2022. Namun meski statusnya dicabut, virusnya belum akan benar-benar hilang, paling tidak 10 tahun mendatang.
Itu artinya, hari-hari kita ke depan akan tetap seperti ini. Seklimis apa pun penampilan tuan dan puan, tetap harus dibalut masker.
Kita juga tak lagi bisa nyaman berdiri di salah satu sudut Fx Sudirman, sambil menunggu bagaimana malam berubah. Atau menyantap aneka kudapan hangat, sambil mendengarkan bunyi musik yang menyusup hingga ke lorong-lorong longgar di Senayan City.
Hiburan, kesenangan, dan lain sebagainya kini harus kita nikmati dengan model baru dan sedikit mengingkari mantra mixed use building. Kembali ke alam, kembali ke kehidupan sejati.
Ketika bertemu teman atau kerabat setelah sekian lama berjarak, kita cukup melakukan gerakan sederhana berupa jabat tangan untuk melepas rindu. Tapi kini, gerakan itu harus kita tinggalkan.
Ya, situasi pandemi Covid-19 yang terjadi dalam 2 tahun ini, mestinya memang membawa dampak perubahan terhadap sistem kehidupan kita. Aktivitas sehari-hari yang semula dilakukan secara manual dan full kontak, kini harus jadi contacless dan berbasis virtual.
Siapa pun kita, saat ini dituntut untuk menjadi manusia pembelajar. Yang sepanjang nafasnya, yakin bahwa tidak ada kata akhir dari sebuah pembelajaran.
Maknanya, seperti dalam pendidikan Islam, yakni serangkaian aktivitas manusia yang menyangkut tiga ranah, yaitu kognisi, afeksi, dan psikomotor. Hukumnya tentu saja wajib, bagi siapa pun. Karena jika tidak, kita akan musnah ditelan bumi. Bisa karena Covid-19 atau tak bisa lagi menyesuaikan diri.
Sejak awal, pendemi mengajarkan pada kita untuk belajar memahami karakteristik Covid-19 dan bagaimana menghadapinya. Juga untuk menguasai teknologi informasi, baik yang sederhana maupun rumit.
Di tengah situasi sulit apa pun, seorang pembelajar terus akan melakukan pengembangan terhadap kemampuan diri. Terutama dalam pendidikan, guru, siswa, dan orangtua harus terus belajar dan punya keinginan kuat meningkatkan kemampuan.
Apalagi dunia kerja saat ini sudah ikut berubah. Menjadi serba digital. Namun mengutip publikasi World Economic Forum: Future of Jobs Report (2020), diprediksi 84% pekerjaan di dunia akan digantikan oleh mesin-mesin canggih dan 50% pekerjaan di dunia akan menggunakan otomatisasi.
Hilang satu tumbuh seribu. Seorang manusia pembelajar harus yakin, jika ada sekian banyak pekerjaan hilang, berarti juga akan ada banyak peluang baru.