Benarkah Jokowi Gagal Pimpin Indonesia?

Benarkah Jokowi Gagal Pimpin Indonesia?
Foto/(BPMI Setpres)

UNTUK menjawab pertanyaan tema diskusi yang diselenggarakan Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) pada Senin, 26 Juli 2021, saya mengajak kita membayangkan kepemimpinan Jokowi dan Indonesia tanpa pandemi, lalu mari kita bayangkan Indonesia di masa pandemi tanpa Jokowi. Jawabannya tentulah Jokowi yang terbaik untuk Indonesia saat ini.

Jokowi adalah seorang presiden yang berangkat dari karir kepala daerah mulai dari Walikota dan Gubernur. Jadi paham bagaimana cara menggerakkan birokrasi, pengelolaan anggaran dan menetapkan skala prioritas pembangunan. Apalagi pada periode pertama, Jokowi dibantu oleh kegesitan Pak JK sebagai seorang tokoh senior yang memiliki pengalaman panjang dalam pemerintahan dan politik.  

Sebagai pengingat kita semua, saya hanya akan menyampaikan beberapa capain keberhasilan Jokowi pada periode pertama, sebagai berikut:

Pertama, pembangunan infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia. Jokowi telah mengubah cara pandang masyarakat dari pembangunan Jawa sentris menjadi Indonesia sentris. Jika tidak ada pandemi, Jokowi sudah merampungkan proyek2 infrastrukturnya yang akan membawa Indonesia menjadi negata dengan ekonomi 20 terbaik di dunia.

Kedua, kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran menjadi salah satu keberhasilan Jokowi. Ini bisa di lihat dari indikator rasio masing-masing. Angka kemiskinan turun dari 11,3% menjadi 9,4%. Rasio gini yang menunjukkan tingkat ketimpangan pun membaik dari semula di angka 0,406 menjadi 0,382 dan tingkat pengangguran terbuka 5,7% menjadi 5,0%.

Pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi dihadapkan dengan pandemi virus Covid-19. Pandemi yang telah membuat semua negara di dunia linglung dalam menghadapinya. Semua sedang berupaya keras untuk menanganinya di negara masing-masing. Jadi boleh dikatakan secara pasti, bahwa tidak ada satupun negara di dunia ini telah berhasil secara total sukses menangani Covid-19. Mereka yang telah lebih baik menanganinya, sangat ditentukan oleh kepatuhan masyarakat, vaksinasi, stabilitas politik dan saling bersinergi. Tanpa itu, Covid-19 akan terus menjadi ancaman untuk kita”

Konsolidasi

Untuk menghadapai ini, Jokowi telah mengkonsolidasikan semua kekuatan nasional. Mulai dari refocusing anggaran yang digunakan untuk mengatasi dan menangani Covid. Terobosan yang paling utama adalah mengamankan pasokan vaksin disaat negara lain masih berdebat soal vaksin mana yang paling tepat. Bisa dibayangkan, tanpa pasokan vaksin, kita akan sulit mencapai kekebalan kelompok yang merupakan salah satu solusi  dalam penanganan Covid-19. Itupun kita masih mengalami kekurangan vaksin. Bayangkan jika Jokowi tidak bergerak di awal Pandemi. Pemerintah sekarang sedang berupaya keras untuk menjalankan program vaksinasi massal gratis kepada seluruh warganya. 

Dalam menghadapi situasi penuh tekanan dengan melonjaknya kasus positif akibat dari penularan varian delta yang luar biasa cepat dibandingkan dengan varian sebelumnya, pemerintah dihadapkan dengan situasi yang sangat berat. Seringkali pilihan kebijkan yang tersedia tidak bisa memenuhi harapan semua pihak karena setiap kebijkan memiliki dampaknya masing-masing, seperti kebijakan apakah akan memberlakukan PPKM Darurat atau tidak. 

Dalam menyikapi situasi ini, hampir semua masyarakat dunia tidak puas dengan penanganan pandemi termasuk mempengaruhi persepsi publik soal pemimpin negara. Jadi wajar jika ada kenaikan ketidakpuasan dalam persepsi publik. Ini hampir di semua negara. Salah satu contoh kita lihat bagaimana krisis politik yang terjadi di Malaysia. Kalau kita lihat di Indonesia kepuasan kepada jokowi di akhir Juni 2021 sebesar 75 persen berdasarkan survei SMRC tetapi turun pada bulan Juli berdasarkan survey LSI. Ini bisa jadi dampak dari kebijakan PPKM yang telah menyebabkan masyarakat kita di sektor informal sebesar 64 jutaan. Sulit memang tapi pilihan-pilihan yang tersedia juga tidak banyak. 

Kalau kita melihat kompleksitas masalah yang kita hadapi, sudah sepatutnya kita bersikap rendah hati dalam menilai keadaan. Mengkritik tentu boleh dan wajar, jika dalam konteks saling mengawasi saling mengingatkan. Bukan mendorong rakyat turun ke jalan yang justru akan menyebabkan upaya-upaya penanganan pandemi gagal. Tidak patut siapapun mempolitisir keadaan ini menjadi krisis politik. Apalagi mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyulut amarah dan emosi rakyat untuk tidak percaya kepada pemerintah. 

Partai, tokoh dan setiap individu saatnya bertindak nyata dengan tolong menolong. Mendorong kadernya yang ada di legislatif dan eksekutif untuk memperkuat perannya dalam mendorong kebijakan-kebijakan yang tepat dalam penanganan covid. Bukan saling ejek, saling nyinyir apalagi mempolitisir keadaan. Mempolitisir dengan pernyataan-pernyataan pesimis seperti kita terancam negara gagal, MPR harus bersidang adili Jokowi, presiden terburuk sepanjang sejarah, angkat bendera putih dan lainnya.  

Salah satu tugas berat kita berdasarkan hasil survey LSI ada 36,5 persen masyarakat yang tidak bersedia di vaksin. Ini tentu akan mengganggu program vaksinasi sebagai upaya mempercepat kekebalan kelompok. Kita harus selalu ingat, dalam mengatasi penyebaran virus, kita semua punya tanggung jawab, tidak hanya negara. Karena induk virus itu berdiam dalam diri manusia, dan karena itu kitalah yang harus mendisiplinkan diri mencegah agar penyebaran tidak meluas.

Dengan segala keterbatasan yang kita miliki, birokrasi yang lambat, hubungan pusat daerah, keterbatasan anggaran dan lainnya, saya ingin menyampaikan saran kepada pemerintah. Pertama, melihat seringnya terjadi kegaduhan karna pernyataan2 yang dianggap kontra produktif, maka penting dibentuk protokol crisis communication. 

Kedua, komunikasi ke daerah terkait refocusing APBD utk covid dan mempercepat program pemerintah pusat ke daerah (insentif nakes, bansos daerah,  percepatan vaksinasi). Ketiga, meminta Pemda untuk mempercepat belanja terkait penanganan covid. 

Keempat, komunikasi ke pemuka agama utk membantu komunikasi ke masyarakat tentang pentingnya vaksinasi dan menjaga situasi untuk selalu lebih kondusif. Dan terakhir, memanfaatkan waktu PPKM untuk vaksinasi dan mempercepat bansos agar masyarakat menengah bawah tenang nafkahnya dan herd immunity segera tercapai.