Regenerasi Moncong Putih

Pernyataan Ketua Umum PDI-P terkait regenerasi kepemimpinan harus dimaknai positif oleh kader partai dengan mempersiapkan diri secara matang dan mengambil pelajaran berharga dari banyak kasus yang menimpa partai politik lain yang terjebak pada prosedural ketimbang substansi sehingga berujung pada melemahnya mesin partai.

Regenerasi Moncong Putih
Ilustrasi foto/Net

REGENERASI kepemimpinan dalam setiap organisasi atau bahkan negara adalah sebuah keniscayaan, tidak terkeculi dalam kepemimpinan partai politik.

Regenerasi kepemimpinan ini akan terus terjadi silih-berganiti secara alamiah tanpa bisa dibendung. Kunci keberlangsungan dan eksistensi partai ada pada regenerasi dan kaderisasi.

Meskipun regenerasi kepemimpinan itu sebuah keniscayaan dan akan terus bergulir, pendidikan politik yang sangat buruk jika para pihak yang terlibat dalam sebuah organisasi atau pun partai politik tidak mempersiapkan diri menyambut momentum tersebut.

Berkaca dari latar belakang ini maka pernyataan dari Megawati Seokarno Puteri yang ingin pensiun dari kursi ketua umum PDI-P bisa dimaknai sebagai sikap visoner dari sang ketua umum untuk memastikan roda organisasi akan terus berjalan dan  berputar menjawab tantangan zaman.

Pernyataan dari ketua umum PDI-P harus direspon oleh setiap kader dengan mempersiapkan diri untuk menjawab tantangan yang telah dilontarkan.

Di sisi lain pernyataan ini juga bisa dimaknai sebagai upaya dari Megawati untuk meningkatkan gairah internal partai dengan menghidupkan kompetisi internal yang lebih dinamis.

Dinamika internal organisasi partai politik dalam negara yang demokratis perlu dijaga dan dirawat agar tetap hidup, sebab berjalannya demokrasi di internal partai politik (intraparty-democracy) juga menjadi salah satu indikator iklim demokratis di dalam negara.

Bagaimana mungkin kita berharap pada aktor-aktor politik untuk menjalankan demokrasi secara substantif sementara mereka tidak mampu menjalankan demokrasi secara murni dalam organisasi atau partainya sendiri.

Namun dalam prakteknya intraparty-democracy yang dijalankan secara serampangan tanpa kontrol yang bijak akan menyeret partai ke dalam konflik yang tidak ber-kesudahan dan di sisi lain menurunkan performa partai.

Situasi ini bisa saja terjadi karena kader partai sibuk menghabiskan energi dalam kontestasi internal. Dalam taraf tertentu malah berujung pada konflik dan perpecahan. Namun di sisi lain kontestasi yang lebih besar dan rill berkaitan dengan upaya memenangkan hati rakyat dalam pemilu menjadi terabaikan.

Konflik internal partai juga akan berdampak buruk pada menurunnya citra partai dimata publik, situasi ini tentu akan sangat merugikan partai di tengah ketatnya persaingan politik antar partai untuk merebut dan memenangkan hati rakyat demi mendapat dukukungan publik.

Menjamurnya konflik di banyak partai berkaitan dengan regenerasi kepemimpinan menjadi pelajaran berharga, konflik internal partai ini disebabkan oleh beberapa faktor, Pertama; lemahnya Ideologi. Faktor ideologi menjadi akar utama yang menumbuh suburkan konflik, lemahnya ideologi partai menyebabkan rendahnya militansi kader dan soliditas internal terus menurun. Situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi partai politik dalam jangka panjang, di mana partai akan menurunkan semangat juang kader partai dalam memenangkan partai.

Kedua; pragmatisme elite, menjamurnya elite pragmatis dalam partai politik menjadikan partai politik hanya sebagai alat, partai politik hanya menjadi sarana memuaskan kepentingan politik jangka pendek dan demi kepentingan politik personal atau kelompoknya. Perjuangan politik pada akhirnya hanya memikirkan untung-rugi tanpa mempertimbangkan nilai dan basis ideologis yang mendasari setiap tindakan politiknya.

Ketiga; derajat institusionalisasi yang rendah. Institusionalisasi (pelembagaan partai) mencerminkan pengelolaan partai yang moderen yang taat azaz dan tunduk pada mekanisme internal yang sudah menjadi kesepakatan dan konsensus partai.

Disiplin, loyal dan konsistensi dalam menjalankan mekanisme internal ini menjadi kunci kuat atau lemahnya pelembagaan partai dan menjamin menguat dan terjaga-nya soliditas partai. Sehingga derajat instistusionalisasi yang rendah akan berdampak negatif terhadap soliditas partai yang berujung pada konflik internal.

Keempat; kohesi yang rendah. Fragmentasi elite menjadi salah-satu penyebab rendahnya kohesivitas di-internal partai politik, di mana kader partai tidak punya tokoh pemersatu/pengikat akibatnya adalah loyalitas yang rendah terhadap organisasi.

Loyalitas yang berdasarkan kepentingan dan pragmatisme akan sangat mudah luntur tergantung pada situasi dan kepentingan politiknya sehingga figur pemersatu dan ideologi yang kuat akan menjadikan kohesivitas internal partai cenderung menguat.

Oleh karena itu, pernyataan Ketua Umum PDI-P terkait regenerasi kepemimpinan harus dimaknai positif oleh kader partai dengan mempersiapkan diri secara matang dan mengambil pelajaran berharga dari banyak kasus yang menimpa partai politik lain yang terjebak pada prosedural ketimbang substansi sehingga berujung pada melemahnya mesin partai.

Keberadaan Megawati sebagai sosok yang telah terbukti menjadi kunci soliditas keterikatan (political engagement) dan simbol pemersatu partai harus dimanfaatkan sehingga regenerasi banteng moncong putih bisa berjalan mulus tanpa konflik yang berarti.