Cadar, Antara Phobia dan Budaya Arab
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melarang mahasiswinya mengenakan cadar. Memasung kebebasan dan hak asasi manusia

MONDAYREVIEW- Jika anda berangkat umroh atau jalan-jalan ke beberapa negeri Arab, melihat wanita yang bercadar adalah hal biasa. Kita kerap menemui mereka bersama suami dan anak-anaknya di mall, restoran, hotel atau tempat umum lainnya. Para wanita Arab biasa mengenakan jilbab bercadar dengan pakaian longgar yang berwarna gelap atau hitam.
Tidak seperti di Indonesia, wanita muslimah biasa mengenal jilbab dan pakaian yang beraneka warna dan model. Bahkan, tak jarang mereka mengenakan kerudung yang menutup rambut, tapi pakaian dan celananya ketat, mengekpose lekuk tubuhnya yang sensitif.
Meskipun masih sangat jarang, sebagian muslimah di Indonesia, mulai ada mengenakan cadar dan tak menghalangi mereka untuk beraktivitas di lingkungan sosial dan pendidikan. Bahkan, ada seorang dokter wanita bercadar bernama dr. Ferihana yang membuka klinik untuk kaum dhuafa di Yogyakarta.
Mungkin, masih dianggap aneh, sebagaimana dulu wanita berjilbab pun sebelum tahun 1980-an, termasuk langka. Nah, apakah fenomena wanita bercadar juga akan semarak jilbab?
Wanita bercadar kini ternyata bisa ditemui di beberapa kampus, seperti di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang tengah heboh karena pelarangan mahasiswi bercadar. Mereka diancam oleh pihak Rektorat, akan dikeluarkan dari kampus. Jika tidak mematuhi aturan ini. Alasannya, seperti diungkapkan Wakil Rektor Sahiron Syamsuddin, karena dosen tidak mengenali wajah mahasiswi yang bercadar.
Wanita bercadar memiliki stigma negatif. Pergaulannya terbatas dan memaksakan keyakinannya pada orang lain. Diperburuk lagi, cadar jadi modus oleh terdakwa wanita untuk menutup identitasnya karena malu ketika di persidangan. Mereka mengenakan cadar bukan karena kayakinan agamanya.
Kebijakan Rektorat UIN Sunan Kalijaga juga mengungkapkan kecurigaan wanita bercadar sesungguhnya memiliki benih-benih radikalisme dalam pemahaman keagamaannya. Mereka diidentikkan dengan pemahaman salafi wahabi. Benarkah? Lalu, apakah semua wanita arab yang bercadar berfaham radikal?
UIN Sunan Kalijaga, sebagai kampus yang memiliki jurusan perbandingan mazhab, pasti sudah mengenal perbedaan pendapat para ulama tentang hukum cadar. Beberapa ulama Mazhab, seperti dari mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa mengenakan cadar hukumnya sunnah, bahkan diwajibkan jika menimbulkan fitnah meskipun wajah bukan termasuk aurat wanita.
Bahkan, beberapa ulama bermazhab syafi’i yang banyak dianut di negeri ini, mengatakan bahwa wajah wanita termasuk aurat. Artinya, para wanita muslimah harus mengenakan cadar. Dalam surat al Ahzab, ayat 53 antara lain yang dijadikan landasan hukumnya, “dan bila kalian akan meminta sesuatu kepada para istri nabi, maka hendaklah kalian memintanya dari balik hijab”. Ayat ini dipahami juga berlaku umum untuk kaum wanita muslim.
Jumhur ulama sebenarnya berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Perbedaan pendapat para ulama adalah hal yang biasa. Kita boleh memilihnya, tanpa menapikan kebenaran dari pendapat mazhab yang lain. Jadi, cadar sesungguhnya bukanlah budaya Arab, tapi bagian dari ajaran Islam yang lebih dulu tertanam dalam masyarakat muslim di kawasan Timur Tengah.
Budaya Arab sebelum turunnya Islam yang dibawa oleh Rasulululloh shallallahu alaihi wa sallam, tidak mengenal cadar dan jilbab. Para wanita Arab lebih suka bersolek dan berpakaian seronok, menampakan aurat mereka, seperti yang disebutkan dalam surat al Ahzab ayat 53. Maka, turunlah perintah Alloh Ta’ala kepada wanita beriman, “…..Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nuur: 31).
Pelarangan wanita bercadar tentu mengherankan terjadi di UIN Sunan Kalijaga, di kampus yang justru ada studi khusus tentang perbedaan mazhab. Pelarangan apalagi sampai mengeluarkan mahasiswi bercadar telah mencederai hak asasi manusia dan kebebasan akademik.
Jika wanita lain yang berpakaian bebas, bahkan menampilkan sisi sensualitasnya, dibiarkan karena dianggap sebagai kebebasan pribadinya. Padahal, cara mereka bisa jadi mengganggu orang lain, terutama orang-orang yang beriman yang ingin menjaga pandangannya dari maksiat. Bahkan, bisa memicu orang lain untuk berbuat pelecehan terhadapnya.
Yusuf Qordhowi seorang ulama moderat pernah menulis dalam bukunya Fikih Komtemporer, “Sungguh mengherankan! Mengapa wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya? Kemudian mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan serta caci maki terhadap wanita-wanita bercadar, yang berkeyakinan bahwa hal itu termasuk ajaran agama yang tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?
Aurat wanita bukan milik dirinya sendiri. Artinya, ia tidak bisa mengatakan, “aurat tubuh saya milik pribadi saya…apa urusannya denganmu.” Ruang publik adalah milik bersama, tidak boleh mengatasnamakan kebebasan, bisa berbuat semaunya. Apakah kita juga boleh menggugat pelarangan merokok di tempat-tempat publik? Misalnya, dengan mengatakan, “yang merokok saya, yang terganggu kesehatan diri saya sendiri…kenapa harus dilarang…”. Mereka lupa banyak orang lain yang terganggu karena asap rokok.
Pihak UIN Sunan Kalijaga tentu harus mampu membuktikan cadar telah mengganggu kehidupan kampus yang harmonis. Atau mereka tengah dihinggapi phobia tanpa alasan yang jelas.