Hari Pers Nasional akan Dikaji Ulang Oleh Organisasi Pers Nasional

Terkait perihal perubahan Hari Pers Nasional, organisasi pers nasional yaitu AJI, IJTI, dan PWI akan mengkaji ulang perihal tersebut

Hari Pers Nasional akan Dikaji Ulang Oleh Organisasi Pers Nasional
PERS

MONDAYREVIEW.COM, Jakarta – Terkait perihal perubahan Hari Pers Nasional, organisasi pers nasional yaitu AJI, IJTI, dan PWI akan mengkaji ulang perihal tersebut.

 Nyatanya, tanggal itu merupakan tanggal berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dianggap oleh AJI tidak mewakili seluruh masyarakat pers.

“Banyak momentum yang bisa dijadikan hari pers nasional tidak hanya mengandalkan dari kelahiran PWI saja, misalnya kelahiran surat kabar pertama di Indonesia, Medan Prijai yang didirikan oleh Tirto Adi Soerjo. Saya rasa itu momentum paling layak dijadikan sebagai Hari Pers Nasional yang dapat mewakili seluruh masyarakat pers di Indonesia,” kata Ketua AJI Indonesia Suwarjono di Hall Dewan Pers, (16/2).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ketua IJTI, Yadi Hendriana. Dia pun setuju dengan perubahan tanggal HPN. “Kita perlu cari tanggal yang pas dan bersejarah untuk memperingati HPN yang memiliki nilai historis karena HPN tidak hanya dimiliki oleh komunitas pers saja. Pemerintah diuntungkan dengan adanya HPN ini, penambahan anggaran APBD untuk percepatan pertumbuhan misalnya,” ungkap Yadi.

Ketua Dewan Pers Adi Prasetyo menyatakan bahwa Dewan Pers dalam hal ini hanya sebagai fasilitator saja bagi ketiga organisasi pers untuk menentukan Hari Pers Nasional.

“Nanti kita bicarakan dengan Istana Kepresidenan perubahan tanggal HPN setelah AJI, IJTI, dan PWI sepakat menentukan kapan tanggal HPN. Nanti dibacarakan dengan Mensesneg untuk merubah Kepres,” kata Adi Prasetyo.

Ketiga organisasi pers ini menyepakati perubahan HPN dalam acara seminar ‘Mengkaji Hari Pers Nasional’ yang diadakan di Hall Dewan Pers pada 16 Pebruari 2017.

Ada pun pembicara yang hadir adalah Asvi Adam sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Atmakusumah Wartawan Senior, dan peneliti sejarah pers Muhidin Dahlan.