Haedar Nashir: Pendidikan Harus Berbasis ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’
Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar menyangkut intelektualitas anak bangsa, tetapi lebih jauh dan mendalam menyangkut pengembangan perikehidupan kebangsaan yang luas.

MONITORDAY.COM – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyoroti fenomena perilaku masyarakat saat ini yang dinilainya tidak mempunyai kecerdasan multiperspektif dalam melihat berbagai permasalahan. Menurut dia, hal ini salah satunya berawal dari sisitem pendidikan yang diterapkan hanya berorientasi kebutuhan praktis semata.
Haedar menilai, penerapan pendidikan dalam memasuki revolusi Industri 4.0 saat ini hanya membentuk masyarakat agar pintar pengetahuan dan teknologi saja, namun tidak secara karakter dan kebudayaan. Padahal menurut dia, “mencerdaskan kehidupan bangsa” tidak hanya soal mendidik masyarakat menjadi pintar.
“Pendidikan pun saat ini dituntut berorientasi pada penguasaan teknologi dan ekonomi digital. Seolah era postmodern tersebut sekadar urusan penguasaan teknologi informasi canggih dan praktis belaka,” tutur Haedar seperti dikutip dari muhammadiyah.or.id, Rabu (9/10).
Mengutip Taufiq Abdulah, Haedar mengungkapkan, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar menyangkut intelektualitas anak bangsa, tetapi lebih jauh dan mendalam menyangkut pengembangan perikehidupan kebangsaan yang luas.
Haedar menambahkan, Pendidikan saat ini juga seolah harus dibawa ke serba teknologi digital dan urusan ekonomi, padahal pendidikan yang benar harus sepenuhnya urusan membangun akal budi secara luas, termasuk mendidik karakter bangsa secara berkelanjutan.
“Dalam bait lagu Indonesia Raya sangatlah terang: ‘Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya’. Proses membangun jiwa-raga dan akal-budi sungguh tidak dapat melompat secara tiba-tiba,” ungkap Haedar Nashir.
Akibatnya, lanjut Haedar, hadir orang-orang yang pemikirannya dangkal dalam menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi. Mentalitasnya lemah dalam menyongsong masa depan yang begitu cepat mengalami perubahan. Serta, begitu juga dalam menghadapi persoalan-persoalan kebangsaan.
“Sosok-sosok anak manusia yang dihasilkan mengalami kejutan masa depan (the future shock), ketika kemajuan dunia modern indutsrial dan teknologis itu tidak lagi mampu diimbangi dengan mentalitasnya yang mencukupi seperti jujur, terpercaya, mandiri, beretos kerja tinggi, gigih, toleran, berjiwa sosial, dan berbudi luhur,” tuturnya.
Lebih lanjut, Haedar menyebutkan, bahwa kemajuan saat ini juga hanya dilihat dengan hal-hal serba kuantitatif, sehingga kehilangan daya dan nilai-nilai kemanusiaan yang kualitatif dan substantif. Menurut dia, masyarakat saat ini dilihat dari luar tampak rasional, tetapi nalar dan tindakannya irasional.
“Manusia modern terdegradasi oleh kapitalisme bendawi sehingga yang dikenali dari dirinya hanyalah komoditas yang mereka miliki, bukan sesuatu yang bersifat eksistensial seperti nilai rasio, moral, dan kebudayaan,” jelasnya.
Karena itu, Haedar berpesan, jangan sampai era digitalisasi justru akan mereduksi dunia pendidikan dan perikehidupan kebangsaan untuk dijadikan pabrik yang melahirkan manusia modular ala robot. Namun sebaliknya pendidikan harus menghasilkan insan berkarakter mulia dan berkecerdasan.
“Pendidikan dan rekonstruksi kebangsaan berbasis ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ menjadi niscaya jika Indonesia berkehendak untuk menjadi negara dan bangsa maju di era posmodern dengan karakter keindonesiaannya yang kokoh sebagaimana dicita-citakan para pejuang dan pendiri Republik ini,” tandas Haedar.