Gaji dan Korupsi di Ditjen Pajak

MONITORDAY.COM - Manusia sering kali merasa kurang dengan harta atau apa pun yang telah dimiliki. Inginnya memiliki lebih dan lebih. Begitu seterusnya.
Meski tunjangan Kepala KPP Pratama Bantaeng Sulawesi Selatan - Pemeriksa Pajak Madya, Dit 2 periode 2014-2019, Wawan Ridwan begitu menggiurkan, namun dirinya masih merasa tidak cukup.
Diberitakan pada Kamis, (11/11/2021) Kepala KPP Pratama Bantaeng Sulawesi Selatan Wawan Ridwan (kedua kiri) yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi perpajakan dikawal petugas KPK untuk menjalani pemeriksaan usai dilakukan penangkapan, di Gedung KPK.
padahal jumlah penghasilan yang begitu fantastis tidak mampu menahan syahwat Wawan untuk mencari tambahan pundi-pundi rupiahnya. Perlu disampaikan bahwa, saat mejabat sebagai Kepala KPP, ia masuk berhak mendapatkan tunjangan kinerja sebesar Rp 46.478.000.
Apabila ditambah dengan gaji pokoknya sebagai PNS antara Rp 2.920.800 hingga Rp 5.661.700 per bulan, maka dalam sebulan Wawan Ridwan bisa mendapatkan penghasilan setidaknya sekitar Rp 50 juta.
Sekali lagi, pendapatan dari gaji pokok PNS dan tukin tersebut termasuk tunjangan melekat lainnya seperti tunjangan anak, tunjangan istri, uang makan, tunjangan jabatan, dan perjalanan dinas.
Sementara dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan pada 24 Februari 2021, Wawan Ridwan tercatat memiliki harta kekayaan sebesar Rp 6,07 miliar.
Dengan adanya peristiwa ini, memperkuat persepsi publik terkait kasus tindak korupsi kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ternyata masih belum memudar.
Kondisi itu membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani sakit hati mengingat instansinya terus berjibaku melakukan perbaikan.
Beberapa tahun lalu, sosok Gayus Tambunan sempat populer sebagai koruptor yang mencoreng citra otoritas pajak. Tak kapok, setelah Gayus, KPK juga mencokok beberapa oknum petugas pajak yang menerima suap. Tak ayal, publik menilai tindak pidana korupsi di lingkungan otoritas pajak sudah menjadi rahasia umum.
Mereka memberikan stigma bahwa DJP merupakan lahan basah bagi beberapa oknum untuk memanfaatkan jabatan dan tanggung jawabnya dalam mengurusi pajak. Tak hanya DJP, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pun turut terkena stigma tersebut, yang sudah melekat dan sulit untuk dilupakan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pajak Yustinus Prastowo menilai fenomena korupsi yang kerap didapati kedua lembaga memang disebabkan oleh banyaknya 'godaan' dari beberapa pihak yang memang enggan untuk membayar pajak.
Menurutnya, beberapa area yang rawan adalah pemeriksaan pajak, penegakan hukum pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan, keberatan, penagihan, dan pengawasan serta konsultasi.
Yustinus menyebut godaan-godaan tersebut lahir dari terbukanya kesempatan akibat minimnya pengawasan dan moralitas beberapa pegawai. Kondisi itu membuat beberapa pegawai akhirnya tergoda melakukan korupsi dengan leluasa melalui kerja sama.
Kendati demikian, Yustinus mengaku yakin masih banyak pula pegawai yang memiliki integritas untuk melakukan pengawasan pajak secara baik dan benar
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai suatu instansi yang menolak keras tindakan korupsi pun menjabarkan beberapa masalah dan penyebab maraknya korupsi di internal otoritas pajak.
Berbagai masalah dan penyebab yang dimaksud adalah rendahnya kepatuhan wajib pajak, terutama pada sektor-sektor tertentu misalnya sektor sumber daya alam.
Kemudian, lemahnya manajemen restitusi pajak, lemahnya penegakan hukum pajak, diskresi otoritas pajak yang luas, kapabilitas sumber daya manusia, etika, dan integritas petugas pajak.
Hingga, sistem administrasi yang belum optimal, dan belum tersinkronisasinya data dengan sejumlah pemangku kepentingan terkait.
Diakui, korupsi di Indonesia masih menjadi momok yang meresahkan. Berdasarkan survei Indeks Persepsi Korupsi oleh International Tranperency tahun 2014 (www.transparency.org, diakses pada 17 Mei 2016) Indonesia memiliki skor yang rendah dalam urutan negara bersih dari korupsi.
Skor yang rendah dalam indeks ini menunjukkan masih tersebar luasnya penyuapan, kurangnya hukuman yang sepadan untuk perilaku korupsi dan institusi publik yang tidak merespon kebutuhan rakyat (Transperency, 2014).
Indonesia menduduki peringkat ke 107 dari 174 negara, dibandingkan negara kawasan Asean lainnya seperti Singapura (peringkat ke 7) dan Malaysia (peringkat ke 50) dengan indeks yang lebih tinggi untuk pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Data indeks persepsi korupsi memberikan informasi bahwa upaya pemberantasan korupsi masih menjadi isu penting yang perlu diperhatikan, disamping dilakukan penyempurnaan produk hukum yang ada.
Menurut Suharko seperti dikutip dalam Syamsudin (2007) apabila ditinjau dari berbagai segi seperti legal, perundang-undangan, kebijakan, dan institusi untuk pemberantasan korupsi, Indonesia telah memiliki kelengkapan yang memadai, bahkan nyaris sempurna untuk melakukan pemberantasan korupsi secara sistematis.
Ketidaktegasan dalam menerapkan hukuman peraturan akan merupakan hambatan pemberantasan korupsi sehingga perlu upaya untuk meningkatkan kemungkinan tertangkapnya pelaku korupsi, salah satunya dengan memberlakukan hukuman yang berat pelaku tindak korupsi (Ancok, 2004).