Gagal Bayar Perusahaan Tiongkok Minim Pengaruh bagi Indonesia

MONITORDAY.COM - Krisis likuiditas yang terjadi pada perusahaan properti asal Tiongkok, Evergrande, dianggap bisa berpengaruh terhadap kondisi perekonomian global, termasuk Indonesia. Krisis likuiditas adalah situasi keuangan yang ditandai dengan kurangnya uang tunai atau aset yang mudah dikonversi menjadi uang tunai di banyak bisnis atau lembaga keuangan secara bersamaan.
Serupa tapi tak sama, fenomena ini mengingatkan kita pada krisis di Amerika Serikat pada 2008 yang dikenal dengan Subprime Mortgage. Saat itu Lehman Brothers yang merupakan bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat (AS) yang berusia lebih dari 158 tahun dinyatakan bubar dan memicu krisis keuangan global.
Sebuah kerajaan finansial dapat saja ambruk sewaktu-waktu. Lehman Brothers Holding Incorporation adalah bank investasi yang menaungi lebih dari 25.000 karyawan di seluruh dunia. Perusahaan ini sejak 2003 menjadi salah satu yang dikritik oleh Warren Buffet karena produk derivatifnya. Dan Indonesia saat itu dapat bertahan dari efek krisis yang membuat banyak negara kalang kabut.
Terkait dengan hal tersebut Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, krisis yang terjadi pada salah satu perusahaan pengembang properti terbesar Tiongkok itu kembali menimbulkan ketidakpastian terhadap perekonomian khususnya pasar keuangan global.
Default atau yang dikenal sebagai Wanprestasi adalah kegagalan untuk membayar kembali hutang termasuk bunga atau pokok pinjaman atau sekuritas. Kegagalan pembayaran dapat terjadi ketika peminjam tidak dapat melakukan pembayaran tepat waktu, melewatkan pembayaran, atau menghindari atau berhenti melakukan pembayaran.
Individu, bisnis, dan bahkan negara dapat menjadi mangsa default jika mereka tidak dapat memenuhi kewajiban hutangnya. Risiko gagal bayar sering kali diperhitungkan jauh sebelumnya oleh para kreditor.
Khususnya kegagalan bayar korporasi memberikan dampak terhadap pasar modal nasional. Evergrande memiliki kewajiban berupa utang sebesar 300 miliar dollar As atau sekitar Rp 4.260 triliun (kurs Rp 14.200). Sampai dengan akhir pekan lalu, total utang yang jatuh tempo diperkirakan lebih dari 100 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,4 triliun.
Terdapat risiko penularan bila masalah Evergrande di China tidak terselesaikan. Kemungkinan ada perusahaan pelat merah dengan kondisi keuangan yang baik yang bakal mengambil alih (Evergrande Group). People's Bank of China (PBOC) telah menyuntikkan uang tunai sebanyak 90 miliar yuan ke dalam sistem perbankan demi meredakan kekhawatiran atas penularan krisis utang Evergrande. Langkah Bank Sentral China itu menandakan dukungan untuk pasar. Sementara Evergrande bersumpah akan bisa keluar dari momen tergelapnya.
Evergrande merupakan penerbit junk bond terbesar di Asia dan sangat terikat dengan ekonomi Tiongkok yang lebih luas. Keterlambatan pembayaran utangnya menggelisahkan pasar saham dan obligasi global karena dapat memicu cross-default.