Ekspor Produk Jamu Indonesia Naik 14,08 Persen
Ekspor jamu memang sempat menurun selama periode lima tahun terakhir (2015-2019) kecuali pada 2017. namun pada periode Januari-September 2020 berhasil mencatatkan nilai USD 9,64 juta.

MONITORDAY.COM - Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyampaikan, nilai ekspor produk jamu atau biofarmaka Indonesia pada periode Januari-September 2020 meningkat 14,08 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019 lalu.
"Pencapaian ini cukup menggembirakan, terutama di tengah perlambatan ekonomi global akibat pandemi Covid-19," kata Mendag, dalam siaran persnya, dikutip Senin (14/12).
Mendag memaparkan, ekspor jamu memang sempat menurun selama periode lima tahun terakhir (2015-2019) kecuali pada 2017. namun pada periode Januari-September 2020 berhasil mencatatkan nilai USD 9,64 juta.
"Nilai tersebut naik 14,08 persen dibandingkan pada periode yang sama (Januari--September)tahun lalu yang senilai USD 8,45 juta,” jelas Mendag.
Adapun negara tujuan ekspor Indonesia, Mendag menjelaskan, pada periode Januari-September 2020 masih didominasi oleh India (62,30 persen), Singapura (6,15 persen), Jepang (5,08 persen), Malaysia (3,75 persen), dan Vietnam (3,17 persen).
"Pada 2019, Indonesia menempati urutan ke-19 negara pengekspor jamu atau biofarmaka ke dunia dengan pangsa pasar 0,61 persen. Adapun pemasok jamu atau biofarmaka dunia masih dikuasai oIeh India (33,46 persen), Tiongkok (27,54 persen), dan Belanda (6,05 persen)" papar Mendag Agus.
Ia mengungkapkan, bahwa pihaknya telah menyusun strategi peningkatan ekspor baik jangka pendek dan jangka menengah, salah satunya melalui pendekatan produk.
"Produk yang dijadikan fokus antara lain produk makanan dan minuman olahan, alat-alat kesehatan, produk pertanian, produk perikanan, serta produk agroindustri," lanjut dia.
Meski begitu, Produk jamu menghadapi beberapa tantangan. antara lain akses pasar, kontinuitas dan ketepatan pengiriman, isu lingkungan, daya saing, sertifikasi organik, keberlanjutan, ketertelusuran, transparansi, hilirisasi.
Selain itu, juga soal pengamanan perdagangan, hambatan nontarif, biaya logistik yang tinggi, serta good agricultural practices (GAP) and good manufacture practices (GMP).
"Kondisi pandemi juga memberikan dampak terhadap perdagangan Indonesia termasuk produk rempah, antara lain adanya peningkatan biaya logistik, perubahan pola perdagangan global, kerja sama perdagangan tidak berjalan efektif selama pandemi Covid-19, dan adanya ancaman resesi ekonomi global," jelas Mendag Agus.
Karena itu, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, asosiasi, para pelaku usaha, maupun pihak swasta lainnya untuk mempertahankan dan meningkatkan ekspor Indonesia.
"Sebagai contoh, penetrasi pasar melalui penyelesaian berbagai perundingan perjanjian perdagangan dan pengembangan pasar melalui kegiatan promosi," ungkap Mendag.