Ekonomi Pancasila (2): Humanisasi Ekonomi Indonesia

Ekonomi Pancasila (2): Humanisasi Ekonomi Indonesia
Ilustrasi foto/Net.

SILA kedua Pancasila memberi petunjuk kepada satu pernyataan penting bahwa nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia merupakan fundamen etika politik dan ekonomi dalam kehidupan bernegara dan  pergaulan dunia.

Dalam hal pembangunan ekonomi, prinsip kebangsaan yang luas ini mengandung dimensi ke luar (eksternal) dan ke dalam (internal). Ke luar, bangsa Indonesia mendorong dibangunnya hubungan ekonomi antar negara di atas dasar kebenaran dan keadilan. Hubungan ekonomi didasarkan pada suatu tujuan bersama, yaitu perdamaian dunia yang kekal dan kemakmuran bersama yang merata. Hal ini juga merupakan wujud dari ekonomi merdeka, yang menolak tujuan-tujuan nasional sempit dan hasrat untuk mendominasi dalam bentuk kolonialisme dan imperialisme.

Di masa kini, bentuknya dapat berupa perjanjian-perjanjian perdagangan, keuangan, maupun investasi yang tidak adil. Digelar dengan tujuan memperdaya bangsa yang lemah dengan aneka mitos kemajuan dan modernisasi ekonomi yang membonsai peran negara dan memarginalisasi rakyat seraya berkhutbah tentang keampuhan mantra liberalisasi pasar.

Ke dalam, bangsa Indonesia memiliki kehendak kuat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial ekonomi, yaitu keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan nasional. Hal ini sekaligus merupakan counter atas meta-narasi ekonomi neoliberalisme yang amat kuat dan melekat untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi dan indikator-indikator PDB sebagai tujuan utama pembangunan. Sebaliknya, pandangan Pancasila merupakan tawaran alternatif pembangunan yang menekankan pada tujuan yang lebih komprehensif, yaitu penciptaan lapangan kerja, keadilan sosial, dan bahkan nilai-nilai non materialistik seperti perlindungan lingkungan.

Dalam idealisasi sila kedua Pancasila, pembangunan merupakan suatu usaha bangsa Indonesia melakukan humanisasi, yaitu merealisasikan hak-hak dasar hidup yang meliputi kesejahteraan, kebebasan, keamanan, dan identitas budaya. Dengan cara ini, setiap manusia Indonesia dapat terbebas dari jebakan kekerasan yang muncul dalam wajah kemiskinan, represi, kerusakan, dan alienasi budaya.

Pakar pembangunan insani Denis Goulet mengatakan, bahwa humanisasi merupakan proses berkecukupan untuk semakin bermakna sebagai manusia (to have enough in order to be more). Dalam ungkapan masyhur Amartya Sen, ketiadaan humanisasi dapat dilihat dari “ketidakberdayaan kapabilitas”. Kondisi yang terjadi akibat penguasaan dan akses terhadap sarana-sarana produksi untuk menjadi manusia seutuhnya tergolong lemah, yaitu ketika Hak Sipil dan Politik  dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dipenuhi.

Sumber daya terpenting sebuah negara adalah manusianya. jika sebagian besar rakyatnya tidak memenuhi potensi mereka, karena kurang akses pendidikan dan malnutrisi misalnya, negara juga tidak bisa memenuhi potensi mereka. Negara yang tidak banyak melakukan investasi bagi pendidikan, akan kesulitan menarik investasi yang membutuhkan tenaga kerja yang menuntut skill yang semakin tinggi. Dalam bahasa lain, sebuah negara dengan level yang tinggi atas ketidakadilan, karena banyaknya pengangguran dan tingginya ketimpangan, sangat mudah terperosok dalam ketidakstabilan sosial, kejahatan yang meningkat, dan pada gilirannya menciptakan iklim yang tidak sehat bagi ekonomi.

Sila kedua Pancasila menggambarkan suatu keinginan kuat yang terdapat dalam masyarakat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial-ekonomi, yaitu keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan nasional. Dalam keadaan kemerataan sosial-ekonomi, martabat setiap warga negara sebagai manusia dihargai dan dijunjung tinggi. Ikhtiar ekonomi yang harus terus-menerus dilakukan yaitu memastikan setiap warga negara turut serta berpartisipasi dalam setiap lapangan ekonomi, dengan menciptakan sebanyak-banyaknya lapangan pekerjaan serta penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sebagaimana direfleksikan oleh ekonom Chile, Max-Neef, “tidak ada kepentingan ekonomi, dalam keadaan apa pun, yang dapat melebihi penghormatan terhadap kehidupan.”

Karenanya, kita membutuhkan ekonomi yang dibingkai ulang. Tertanam kuat dalam imperatif sosial dan ekologis, yang menegaskan dan mendorong kehidupan dalam semua aspeknya. Ekonomi untuk semua umat manusia dan makhluk lain dan mengakui keterhubungan kita dengan orang lain dan dengan alam. Ekonomi yang memapankan sebuah gambar besar pembangunan di masa kini: Kesuksesan pembangunan berarti keberlanjutan, melapangkan jalan bagi terciptanya keadilan sosial, dan fokus pada peningkatan standar hidup, tidak hanya ukuran-ukuran PDB.