Plus-Minus Sosok Polisi Influencer

MONITORDAY.COM - Soal Aipda Ambarita dan Aiptu Jacklyn Choppers a.k.a Jakaria menarik dikaji. Polisi juga manusia biasa. Termasuk dalam interaksi dan hubungan sosial di sela-sela tugasnya. Para bhayangkara ini hampir semua menggunakan media sosial untuk berbagai aktivitasnya. Tak hanya mereka yang bertugas di bagian siber. Tentu mereka semua sudah dibekali soal etika dan rambu-rambu dalam bermedsos.
Beberapa sosok polisi juga menjadi sosok yang populer di media sosial. Ada yang karena tampilannya yang nyentrik, tampan, atau cantik. Ada pula yang karena postingannya yang menarik. Seperti polisi yang membuat sitkom untuk sosialisasi pesan positip. Ada juga polisi yang banyak menggalang kegiatan sosial.
Dalam beberapa sisi popularitas mereka dapat membantu tugas negara. Banyak pesan dan informasi sampai ke publik. Komunikasi ala medsos mampu menyentuh banyak orang termasuk kalangan milenial.
Di sisi lain ada risiko popularitas tersebut tidak sejalan dengan visi dan misi POLRI. Atau setidaknya mempengaruhi citra institusi. Media sosial dengan akun personal tentu berbeda dengan akun resmi yang mewakili suara institusi.
Ada beberapa catatan yang penting diperhatikan. Bagaimanapun menjadi anggota POLRI adalah tugas negara yang diamanatkan konstitusi. Polisi yang lebih presisi menjadi harapan publik. Tegas tanpa kompromi dalam menghadapi para bandit namun terukur dan manusiawi.
PERTAMA. Mewakili institusi penegak hukum, polisi harus menjaga wibawa. Ada peran khusus terkait tugas dan tanggungjawabnya. Semua tindakannya akan dihubungkan dengan lembaga POLRI. Termasuk menyangkut hal yang bersifat privasi. Itulah risiko jika polisi menjadi public figure. Ia lebih dipandang sebagai ‘seleb’ yang siap dikuliti kepribadian dan sisi-sisi kelemahannya.
KEDUA. Banyak tugas negara yang bersifat rahasia. Jika langkah penyidikan dan penyelidikan diungkap di layar medsos ada risiko besar kualitas kejahatan akan meningkat. Para kriminal dapat mempelajari cara kerja polisi. Pun mengenali sosok para penyidik yang sering menyamar dan tak menampilkan identitasnya.
KETIGA. Ada privasi publik termasuk para saksi, terduga atau tersangka. Ini kita lihat dalam kasus Aipda Ambarita. Publik merasa perlu terlindungi privasinya, termasuk semua informasi penting yang ada di gawainya. Jika prosedur ini terlanggar maka wajar muncul reaksi. Termasuk jika ada wajah individu yang terekam dan terpublikasi di layar medsos para polisi influencer.
KEEMPAT. Opini publik vs penegakan hukum. Penegakan hukum bersifat obyektif sementara opini publik terbangun melalui informasi yang dapat saja terdistorsi. Jika tindakan penegakan hukum lebih banyak dikendalikan oleh opini publik maka prinsip-prinsip keadilan dapat goyah.
KELIMA, Citra dan profesionalitas. Dimutasinya dua bintara polisi Polda Metro Jaya ke bagian humas tentu menjadi salah satu langkah pembinaan berbasis profesionalisme. Mereka memiliki kemampuan penetrasi dan persuasi yang kuat. Ada benarnya ditempatkan di humas. Meski mungkin bagi sebagian orang bagian ini dianggap bagian yang tak populer. Tentu bagian humas bukan tempat sampah dan ‘buangan’ dalam perspektif polisi modern.
Siapa tahu Kapolri membaca masukan ini dan masukan lainnya yang mengharapkan POLRI semakin baik dan profesional. Dan lebih daripada itu menjunjung integritas dan komitmennya menegakkan hukum.