Denny Siregar: Buzzer dalam Pusaran Blunder
Blunder yang dilakukan oleh Denny Siregar harusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih bijak bermedia sosial. Jika dulu ada peribahasa mulutmu harimaumu, sekarang peribahasa ini bergeser menjadi jempolmu harimaumu.

MONDAYREVIEW.COM – Nama Denny Siregar kembali mencuat akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan ulahnya mengunggah foto anak kecil dengan kostum bendera tauhid. Bersama dengan gambar itu, Denny membubuhkan narasi bahwa anak-anak tersebut adalah calon-calon teroris. Hal ini memancing amarah pondok pesantren tempat dimana anak-anak tersebut menempuh pendidikan. Pondok pesantren yang dimaksud adalah Pondok Tahfizh Daarul Ilmi Kota Tasikmalaya.
Tak main-main, pihak pondok melaporkan Denny Siregar ke Polresta Tasikmalaya untuk diproses secara hukum. Denny dilaporkan dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pihaknya sendiri telah memeriksa pelapor terkait laporan yang dibuat. Polisi juga akan memanggil saksi dan ahli kedepannya. Setelahnya, polisi pun akan meminta keterangan dari Denny selaku pihak terlapor.
Menanggapi laporan tersebut, Denny mengaku siap untuk menjalani semua proses hukum. Dia menunjuk kuasa hukum Muannas Al Aidid untuk mendampinginya. Denny juga mengancam tak segan-segan melaporkan balik pihak pondok pesantren. Hal ini karena menurut Denny pihak pondok juga melakukan kesalahan dengan melibatkan anak-anak di bawah umur dalam aksi massa. Pihak pesantren mengaku tidak gentar atas ancaman Denny tersebut.
Drama Denny Siregar ditambah doxing yang dilakukan akun opposite terhadap identitasnya. Doxing adalah pembongkaran identitas dengan cara melakukan peretasan kepada data kita. Kali ini data yang diretas berasal dari akun Telkomsel Denny Siregar. Menanggapi doxing ini, Denny melakukan protes terhadap Telkomsel. Muncul tuduhan bahwa Telkomsel diisi oleh kelompok kadal gurun, sebutan Denny Siregar untuk kelompok Islam konservatif.
Selama ini Denny Siregar dikenal sebagai buzzer atau penggaung yang selalu membawakan narasi dukungan kepada pemerintah. Dalam era demokrasi digital ini, peran buzzer cukup berpengaruh untuk mempengaruhi pikiran warganet. Setiap kubu politik punya buzzernya masing-masing, Denny adalah buzzer yang pro kepada kubu petahana. Kehadiran buzzer ini mendapat kecaman dari warganet karena membuat masyarakat tak lagi bisa objektif, dan menjadi fanatik terhadap kubu tertentu.
Benar saja, Denny Siregar akhirnya melakukan blunder. Denny mempunyai tujuan yang baik, yakni ingin melawan narasi keagamaan yang radikal dan ekstrem. Namun cara yang dilakukan Denny salah, yang malah bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Tidak seharusnya Denny melabeli anak-anak yang ikut aksi massa dengan bendera tauhid sebagai calon-calon teroris. Hal ini jelas fitnah yang tak bisa dibenarkan. Biar bagaimanapun mereka anak-anak biasa, dan bukan calon teroris.
Sebagian umat Islam memang ada yang pro terhadap terorisme, namun hal tersebut dinilai dari pikiran mereka, bukan dari pakaiannya. Denny terlalu gegabah dengan menilai ideologi terorisme hanya dari bendera tauhid semata. Hal ini justru akan kontra produktif dengan tujuan Denny menolak ideologi Islam garis keras. Akhirnya Denny pun kena batunya, kita lihat apakah benar yang dikatakan orang bahwa Denny kebal hukum atau tidak.
Kita tahu bahwa Ahmad Dhani sudah selesai mengalami masa hukuman di penjara karena pernyataannya di media sosial. Banyak yang mengatakan bahwa penahanan Ahmad Dhani adalah politis, karena Ahmad Dhani bagian dari kubu oposisi. Namun hukum belum pernah bisa menyentuh buzzer dari kalangan pro petahana walaupun mereka beberapa kali melakukan blunder. Hal ini membuat beberapa pihak menganggap hukum tidak adil dalam persoalan ini.
Blunder yang dilakukan oleh Denny Siregar harusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih bijak bermedia sosial. Jika dulu ada peribahasa mulutmu harimaumu, sekarang peribahasa ini bergeser menjadi jempolmu harimaumu. Menjadi buzzer atau influencer boleh saja, kenyataannya memang kita perlu penggaung politik yang menyebarkan ide dan gagasan kita. Namun etika harus tetap dijaga, jika tak mau pada akhirnya berurusan dengan hukum.