Idul Fitri di Tengah Pandemi
Perayaan Idul Fitri menuntut lahirnya normal baru, tentu saja bukan hanya sekadar perubahan tampilan fisik dan protokol kesehatan semata, tapi juga fitrah keimanan kita.

SUASANA Idul Fitri atau lebaran kali ini amat berbeda. Ada banyak tradisi yang biasa kita lakukan harus kita koreksi akibat pandemi covid-19. Bukan cuma karena pentingnya menjaga protokol kesehatan, tapi juga soal bagaimana kita menghadapi keprihatinan.
Mulai dari ketupat lebaran beserta sederet teman-temannya yang saban kali lebaran amat berlimpahan, tak perlu kita undang secara bersamaan di meja makan.
Karena tetamu yang datang juga tak akan berdesak-desakan. Paling bantar beberapa anggota keluarga dan segelintir tetangga saja.
Soal baju yang kita kenakan, juga tak perlu harus baru di saat lebaran. Selain untuk kebaikan juga saat ini kita memang tengah dalam keprihatinan. Jika kita nekat bertebaran ke pasar dan jalan-jalan demi berburu sehelai pakaian apalagi ikut jualan, tentulah ambyar semua upaya yang kita lakukan.
Last but not least, tradisi yang mesti kita koreksi makna dan pelaksanaannya adalah mudik lebaran. Meski secara bahasa tradisi ini tak ada kaitan dengan puasa atau lebaran, namun nyatanya jadi sesuatu yang tak boleh terlewatkan.
Untuk lebaran kali ini, maka mudik secara fisik kita tiadakan. Namun mudik secara rohani mesti kita perdalam. Karena mudik sebetulnya meniscayakan manusia untuk ingat akan asal usulnya, kembali ke tempat asal, lalu menyatu dengan alam dan penciptanya terutama di masa pandemi Covid-19.
Dari sini kita mestinya sampai pada kesamaan persepsi bahwa lebaran sejatinya merupakan titik puncak perjuangan dan perjalanan spiritual manusia pasca menjalankan ibadah puasa dan menghadapi wabah corona.
Lantas, kita juga paham bila puasa dan corona sama-sama mengajarkan umat manusia, terutama yang beriman dan bertakwa tentang arti penting kesabaran kala menerima ujian dan kesusahan.
Bukanlah kebaikan, kata Allah, engkau hadapkan wajah ke arah timur maupun barat. Kebaikan itu, kata Allah, adalah kamu beriman kepada Allah dan salah satunya bersabar ketika menghadapi musibah, ujian, dan berbagai kesulitan.
Ini serupa pelajaran kesabaran yang diberikan Allah kepada Nabi Ayyub. Ia adalah sosok pilihan, memiliki ruh terbaik di zamannya, namun tetap saja diberi ujian berupa kepapaan, kesedihan, dan penyakit yang mengenaskan.
Duhai sungguh sabar Nabi Ayyub. Selain harus menjalankan protokol kesehatan, ia juga harus menjalani isolasi mandiri 18 tahun lamanya. Bandingkan dengan isolasi akibat Covid-19, yang hanya 14 hari lamanya.
Tak ayal lagi, pelaksanaan ibadah puasa, lebaran dan peristiwa wabah corona sejatinya menghantarkan kita pada puncak perjalanan spiritual. Sampai pada ketakwaan dan kesadaran sejati. Menandai kembalinya orang-orang yang berpuasa kepada fitrahnya sebagai makhluk Tuhan yang memiliki tingkat kesadaran tertinggi dibanding makhluk-makhluk lainnya.
Idul fitri dengan demikian semestinya memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan apa yang selama ini lebih banyak kita pahami sebagai “kembali ke kampung”, atau akrab di telinga dengan istilah mudik.
Karena ada tujuan sama antara pelaksanaan puasa dan terjadinya wabah corona, yaitu membentuk manusia yang bertaqwa. Kenapa begitu? Karena salah satu ciri insan yang bertakwa adalah sabar ketika menerima ujian dan kesusasahan.
Tentu saja sabar yang dimaksud bukanlah pasif dan menyerah kepada keadaan. Sebaliknya, sabar berarti positif, aktif, dan progressif.
Pelaksanaan ibadah puasa di tengah pandemi corona membuat harta, jabatan tak bisa berbuat apa-apa. Jika terkena virus corona, kita pun memiliki peluang yang sama. Sembuh dan meraih imunitas atau pulang/mudik keharibaan Allah.
Karena itu, puasa kemarin dan wabah corona yang masih berjalan mestinya mendorong kita untuk menggunakan harta dan jabatan demi berjuang di jalan-Nya. Membuat orang lain lebih berdaya dan memiliki peluang untuk maju.
Puasa dan corona juga berefek kepada kebersamaan kita dengan keluarga. Jika biasanya kita sibuk bekerja sehingga lupa tugas jadi punggawa keluarga, tapi kali ini kita dipaksa untuk berbagi tugas menjaga keluarga, mengelola emosi agar keutuhan keluarga tetap terjaga.
Puasa dan corona juga mengajarkan dan mendorong kita untuk menggerakan minimal diri kita pribadi untuk membantu tetangga. Saya menyebutnya Gerakan Bantu Tetangga (BANGGA).
Tetangga adalah saudara di tengah wabah corona. Dengan mereka kita bercengkrama dan mencium bau udara yang sama. Kita hidup dalam lingkungan yang sama, tak mungkin kita menutup mata dan mati rasa. Kesulitan yang dialami tetangga menjadi tanggungjawab kita juga.
Puasa dan corona yang menuntut kesabaran tingkat dewa pada akhirnya mendorong kita untuk juga merancang masa depan dengan langkah strategis dan sistematis. Kita dituntut untuk menjalani hidup dengan model baru, neo normal atau normal baru.
Dalam konteks perayaan idul fitri, tentu saja normal baru bukan hanya sekadar perubahan tampilan fisik dan protokol kesehatan semata, tapi juga fitrah keimanan kita. Semua aspek kehidupan yang kita jalani, bekerja, belajar, berkarya, semata-mata sebagai upaya kita beribadah dan menjalankan ketaatan kepada Allah, Sang Pemilik Alam Semesta.
Selamat Hari Raya Idul Fitri!