Ayo Menanam

Meski secara keilmuan orang-orang zaman now sudah tak lagi punya basic pertanian, namun sesungguhnya ‘jiwa petani’ bersemayam dalam jiwa.

Ayo Menanam
Ilustrasi foto/Shutterstock.

SELAIN soal isu kesehatan, pangan jadi persoalan utama di tengah pandemi corona virus disease (Covid-19). Ini terjadi gegara banyak negara memilih menerapkan karantina wilayah atau lockdown untuk mengontrol penyeberan Covid-19.

Kondisi seperti itu lantas mengharuskan ketersediaan pangan dalam jumlah besar di hampir semua negara. Akibatnya, pasokan pangan dunia pun terganggu.

Negara-negara penghasil gandum terbesar di dunia seperti Rusia, Kazakhstan, dan Ukraina, secara terang menyatakan akan melakukan pembatasan ekspor biji gandum.

Untuk beras juga begitu, Vietnam dan Thailand mengatakan lebih mengamankan pasokan dalam negerinya.

Badan pangan dunia, FAO lalu mengingatkan jika pandemi Covid-19 tak sekadar berpotensi menimbulkan krisis dan bencana kesehatan, namun bisa pula menyebabkan krisis pangan hingga kelaparan.

Sebelum ada covid 19, FAO sudah bilang ada 10 negara yang dinilai paling beresiko yaitu: Yaman, Sudan Selatan, Venezuela, Sudan, Zimbabwe, Kamerun, Burkina Faso, Haiti, Afghanistan dan Nigeria.

Kini dengan adanya pandemi Covid 19, bisa jadi tak hanya 10 negara, tapi semua negara yang terjangkit bisa sangat beresiko, terutama negara-negara dengan tingkat pelayanan kesehatan yang kurang baik.

Bagaimana Indonesia, sebagai negara dengan sistem kesehatan yang belum terlalu baik, maka tentu Indonesia perlu menjaga kelancaraan rantai pasok makanan, yang melibatkan banyak pihak. Mulai dari petaninya, penyedia benih, pupuk, anti-hama, pabrik pengolahan, pengiriman, pedagang, hingga tentu saja bank dan penjaminnya.

Presiden Jokowi sendiri sudah memerintahkan jajaran menterinya untuk mencermati peringatan FAO tentang potensi krisis pangan dunia.

Kata FAO kondisi ini akan lebih parah di negara-negara dengan kualitas kesehatan yang buruk maka wabah Covid-19 akan mengakibatkan krisis pangan dan kehilangan mata pencaharian.

FAO juga menyarankan beberapa yang dapat dilakukan, seperti penguatan data pertanian dan pangan, memastikan akses terhadap pangan, kesinambungan rantai pasok, dan melindungi para pelaku rantai pasok agar tak terinfeksi.

Upaya lain yang dapat kita lakukan, adalah menguatkan ‘pangan berbasis keluarga’. Siapa pun yang lahir dan menghabiskan masa kecilnya di masa-masa tahun (1980-an) tentu masih ingat dan sempat bermimpi bila dengan menjadi petani pun kita bisa sejahtera dan bahagia.

Dulu, hampir semua kebutuhan pokok keluarga dapat dipasok dari lahan pertanian sendiri, kini semua itu didapat dari pasar-pasar modern. Di samping tak lagi berdaya untuk memasok kebutuhan pangannya, keluarga juga tak berdaya atas kualitas dan nilai gizi yang terkandung di dalamnya.

Padahal, Bung Karno sejak dulu sudah mengingatkan: Bahwa ‘pangan adalah urusan hidup matinya suatu bangsa.’ Nyatanya, seiring jumlah populasi dan permintaan konsumsi pangan yang kian bertambah, sementara ketersediaan atau produksi pangan terbatas.

Saat ini sejumlah negara dengan populasi yang tinggi tengah menjadikan pangan sebagai isu strategis dalam pembangunan di negaranya.

Dalam kondisi seperti saat ini, tentu kita juga tak bisa menjalankan resep yang selama ini banyak dihembuskan negara-negara maju ala WTO dengan perluasan pasar (market acces), pengurangan dukungan domestik (domestic support), hingga pengurangan subsidi ekspor (export subsidies).

Program zero hunger (nol kelaparan) jika masih dilakukan di tengah pandemi kebijakan pertanian model WTO seperti itu jelas akan sulit.

Kita perlu jalan lain yang ditawarkan untuk meningkatkan ketahanan pangan namun dengan biaya yang murah dan lahan yang terbatas. Bisa jadi, seperti konsep Food Oriented Development atau FOD. Konsep pembangunan pertanian yang menjadikan kota sebagai penyedia pangan bagi warganya. Konsep turunannya adalah urban farming atau pun family farming. Konsep lokal yang sempat diadopsi FAO.

Konsepnya sangat sederhana, namun sebetulnya sudah jadi pilar penyangga pangan nasional sejak ribuan tahun lalu. Otto Soemarwoto dan GR Conway dalam Jurnal for Farming System Research tahun 1992 menyebut bahwa pekarangan sudah ada sejak 860 Masehi di Jawa Tengah.

Artinya, gerakan menanam di pekarangan, atau urban farming ini sesungguhnya sudah ada sejak lama. Di beberapa daerah, para penduduk akan selalu merasa ada yang kurang jika mereka belum menanam tanaman pangan, atau memelihara ternak, seperti ayam.

Nah, di tengah pandemi Covid-19 adalah momentum, untuk kembali menggalakan family farming. Paling sederhana bisa berbentuk taman obat keluarga atau TOGA. Apalagi, ada beberapa temuan yang mengatakan jika tanaman obat (herbal) dapat menjadi alternatif pengobatan untuk menangkal virus corona baru.

Selain menanam TOGA, kita juga bisa mulai menanam tanaman pokok yang masa tanamnya pendek dan cepat panen, seperti sayuran dan umbi-umbian. Murah, cepat, dan tentu saja mengandung probiotik untuk meningkatkan imunitas kita.

Meski secara keilmuan orang-orang zaman now sudah tak lagi punya basic pertanian, namun sesungguhnya ‘jiwa petani’ bersemayam dalam jiwa. Karena itu, mari bangkitkan kembali jiwa-jiwa petani itu, Ayo Menanam!