Di Balik Rendahnya Literasi Masyarakat Indonesia

Berdasarkan hasil Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018, misalnya, menunjukkan bahwa 70% siswa di Indonesia memiliki kemampuan baca rendah (di bawah Level 2 dalam skala PISA).

Di Balik Rendahnya Literasi Masyarakat Indonesia
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM – Tingkat literasi di Indonesia masih sangat buruk. Hal ini bukan isapan jempol belaka, namun berdasarkan hasil Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018, misalnya, menunjukkan bahwa 70% siswa di Indonesia memiliki kemampuan baca rendah (di bawah Level 2 dalam skala PISA). Artinya, mereka bahkan tidak mampu sekadar menemukan gagasan utama maupun informasi penting di dalam suatu teks pendek. Hal ini diperparah dengan minat baca yang rendah di kalangan masyarakat. Pada tahun 2018, sebuah survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase penduduk di atas usia 10 tahun yang membaca surat kabar atau majalah hanya 14,92%. Angka ini lebih rendah dari persentase 15 tahun sebelumnya (23,70%).

Selama ini pemerintah telah berusaha untuk meningkatkan skor literasi masyarakat Indonesia dan juga minat baca. Selama 15 tahun terakhir, beragam program dicanangkan oleh pemerintah berkaitan dengan literasi. Namun sayangnya menurut data survey yang dilakukan PISA, hasilnya stagnan tidak mengalami perubahan. Skor kemampuan membaca masyarakat tahun 2018 sama dengan tahun 2000. Begitu juga dengan skor dalam bidang sains. Yang meningkat adalah kemampuan matematika anak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh SMERU Research Center, penyebab gagalnya pemerintah meningkatkan skor literasi adalah terbatasnya akses siswa di Indonesia terhadap bahan bacaan - yakni betapa sedikitnya perpustakaan maupun buku bacaan berkualitas yang tersedia.

Laporan terkini dari Perpustakaan Nasional menyebutkan bahwa perpustakaan yang ada di Indonesia saat ini baru mencapai 154.000 atau hanya memenuhi 20% dari kebutuhan nasional. Kekurangan perpustakaan ini terdiri di antaranya dari perpustakaan umum (baru 26% dari kebutuhan 91.000) dan perpustakaan sekolah (baru 42% dari kebutuhan 287.000). Minimnya akses terhadap perpustakaan juga terasa hingga level kecamatan. Dari total kebutuhan 7.094 perpustakaan kecamatan di seluruh Indonesia, baru terpenuhi sekitar 6% atau 600 perpustakaan yang letaknya masih terpusat di Pulau Jawa. Hal ini menyebabkan akses masyarakat terhadap perpustakaan dan buku di daerah luar Jawa masih rendah.

Skor berdasarkan ‘Indeks Aktivitas Literasi Membaca’ tahun 2019 keluaran Kemendikbud. terkait akses ke perpustakaan maupun bacaan buku di daerah luar Jawa, seperti provinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Aceh, dan Papua masih berkisar kurang dari 20. Nilai ini kalah jauh dari Yogyakarta (47,11) dan Jakarta (46,46). Masalah minimnya jumlah perpustakaan juga diperparah dengan sedikitnya jumlah buku bacaan yang berkualitas. Belum ada data yang menunjukkan kondisinya secara nasional, namun survei dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) - program kemitraan pemerintah Australia dengan Indonesia - memberikan sedikit gambaran di daerah. Di Kalimantan Utara, meskipun 80% anak mengaku suka membaca, namun bahan bacaan mereka didominasi oleh buku pelajaran (67%). Hanya sedikit dari mereka yang membaca buku cerita (13%) atau buku pengetahuan umum (2%).

Lantas bagaimana cara mengatasi masalah ini? Tentu saja pemerintah mesti memberi perhatian lebih terkait dengan perpustakaan dan penyediaan buku-buku bacaan yang berkualitas. Selain itu beragam inovasi pun bisa dilakukan seperti yang telah dilaksanakan oleh Yogyakarta, dimana indeks literasi dan skor PISA di sana cukup tinggi.  Di Yogyakarta terdapat kegiatan literasi rutin dari lingkungan RW (Rukun Warga) dan kelurahan di provinsi Yogyakarta yang dihadiri secara antusias oleh masyarakat dari segala usia. Minat baca yang tinggi ini didukung juga oleh kolaborasi masyarakat dengan pemerintah daerah.

Dinas Perpustakaan Daerah (Perpusda) Kota Yogyakarta membuat program literasi yang menjangkau masyarakat secara aktif, contohnya layanan perpustakaan motor roda tiga (PUSPITA) dan mobil perpustakaan keliling (MONIKA). Kedua armada tersebut bertugas menjangkau kampung, ruang terbuka publik, maupun sekolah-sekolah yang belum memiliki bahan bacaan yang memadai. Petugas perpustakaan daerah juga menyapa masyarakat dan membuka layanan pada saat hari bebas kendaraan bermotor. Kolaborasi antara pemerintah dan pegiat literasi bisa menjadi factor penting dalam meningkatkan literasi di suatu tempat. Hal ini mesti terus diupayakan dan disebarkan di daerah-daerah seluruh Indonesia.