Dari Apple Pay sampai PornHub, Deretan Sanksi Dijatuhkan Kepada Rusia

Dari Apple Pay sampai PornHub, Deretan Sanksi Dijatuhkan Kepada Rusia
Ilustrasi: Bendera Rusia

MONITORDAY.COM -

Sejak invasi Rusia atas Ukraina digencarkan Vladimir Putin pada 24 Februari 2022, kondisi kedua negara semakin memburuk di berbagai lini, dan menambah derajad ketidakpastian bagi negara-negara yang memiliki keterkaitan langsung di bidang ekonomi, perdagangan, dan sosial politik baik dengan Rusia maupun dengan Ukraina.

Sederet sanksi dan embargo dagang memang telah dijatuhkan kepada Rusia yang memulai agresi di akhir Februari yang kelabu itu untuk mencegah eskalasi konflik ke tahapan yang lebih buruk.

Selain korban jiwa, perang membawa dampak besar yang mengarah ke situasi krisis. Korporasi-korporasi raksasa dunia mulai mengambil sikap dengan memblokir transaksi dan kegiatan bisnisnya di Rusia termasuk situs porno dengan jumlah pengakses terbesar di dunia, PornHub.

Diketahui, situs porno terpopuler Pornhub, telah menutup akses Rusia ke kontennya. Halaman dengan konten dewasa itu tidak dapat dimuat di Rusia. Saat mencoba membuka situs porno itu alih-alih video yang diharapkan, malah bendera Ukraina yang muncul.

Sanksi juga diberikan oleh Apple Pay dan Google Pay yang membekukan transaksi bagi para pengguna jasanya di Rusia. Akibatnya masyarakat Rusia tidak lagi dapat mengakses layanan yang menggunakan dompet digital dua korporasi telekomunikasi raksasa dunia itu, langkah yang sama juga diambil oleh Netflix dan beberapa kanal film berbayar lain.

Yang paling signifikan, di bidang moneter negara-negara barat juga memberikan sanksi dengan mengeluarkan bank-bank Rusia dari Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) sebuah sistem pesan aman yang digunakan untuk transaksi bernilai triliunan dolar perbankan dunia.

Akibat dari sanksi ini bisa sangat sistemik, antara lain melambatnya transaksi perdagangan dari dan ke Rusia. Hal itu otomatis akan membuat Rubel, mata uang Rusia jatuh lebih dalam, setelah sebelumnya dihukum oleh market.

Nilai tukar rubel terhadap US dolar telah anjlok hingga 30% ke rekor terendahnya sepanjang sejarah 119 rubel per dolar. Untuk mengatasi itu, bank sentral Rusia menaikkan suku bunga utamanya hingga dua kali lipat dari 9,5% menjadi 20% hanya dalam tempo dua hari. Sesuatu yang sangat langka terjadi di situasi normal. 

Dari situ, persis seperti yang terjadi di Indonesia ketika krisis 1998 menghantam sektor keuangan, antrian ATM di berbagai kota di Rusia mengular hingga puluhan meter. Bahkan Sberbank Europe, bank bentukan Bank Sentral Rusia, mengalami kegagalan (default) setelah terjadi penarikan besar-besaran (rush) dalam waktu singkat hingga kehabisan likuiditas. 

Swiss yang terkenal atas netralitasnya juga mengikuti langkah Uni Eropa dengan membekukan aset milik orang Rusia. "Kami akan melumpuhkan aset bank sentral Rusia. Kami akan membekukan transaksinya. Itu akan membuat bank sentral Rusia tidak bisa melikuidasi asetnya," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.

Di sektor energi, Jerman bahkan telah menghentikan kesepakatan atas pipa gas Nord Stream 2 Rusia, investasi besar oleh perusahaan Rusia dan Eropa. 

Sejak invasi dicetuskan Putin, harga gas alam dan minyak melonjak drastis dalam sepekan terakhir. Harga minyak mentah jenis Brent tercatat naik US$3,06 atau 3,1% ke US$100,99 per barel. Sementara, West Texas Intermediate (WTI) naik US$4,13 atau 4,5% ke US$95,72 per barel di New York Mercantile Exchange.

Sebagian besar negara Eropa juga sepakat menutup wilayah udaranya untuk maskapai Rusia, yang dibalas Rusia dengan menutup penerbangan di atas wilayah kedaulatannya. Dampak dari situasi ini adalah menciptakan tarif penerbangan yang membengkak bagi maskapai yang beroperasi melintasi rute di langit Eropa Timur. Tapi siapa pula yang mau ambil risiko terbang di atas negara-negara yang tengah berkonflik? 

Bagaimana dengan sektor pangan? Kedua negara baik Rusia maupun Ukraina adalah penghasil gandum terbesar di dunia, bahkan jika kita lihat bendera Ukraina, warna kuning dari lambang negara eks Uni Soviet itu menggambarkan landang gandum. Jika diakumulasikan Rusia dan Ukraina berkontribusi terhadap 29% komoditas gandum di dunia.

Bagi negara-negara yang penduduknya mengkonsumsi gandum sebagai makanan pokok seperti negara-negara di Timur Tengah persoalan ini cukup pelik. Pun bagi Indonesia yang secara tidak sadar telah menjadikan gandum sebagai makanan pokok pengganti nasi, seperti Roti dan Mie Instan. Nilai perdagangan gandum dari Ukraina ke Indonesia mencapai 2.606 ton per tahun.

Berhentinya pasokan gandum jelas membuat masing-masing negara berpikir ulang untuk mendapatkan stok barang yang tersedia dari negara lain seperti China dan Amerika. Namun, tentunya dengan cost yang lebih mahal mengikuti demand.

Bagaimanapun, perang, dalam skala regional saja bisa membawa ke situasi krisis tidak terelakkan. Kerugiannya bukan hanya bagi dua negara yang sedang beradu senjata. Melainkan juga bagi negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi baik langsung maupun tidak.

Apalagi di saat zaman sudah sangat terkoneksi seperti sekarang ini. Lebih-lebih jika yang berkonflik merupakan negara-negara adidaya yang memiliki senjata nuklir. Kehidupan umat manusia jadi terancam. 

Semasa menempuh pendidikan sekolah para siswa diwajibkan menghadiri upacara bendera reguler di hari Senin. Di setiap upacara lazimnya ada pembaca pembukaan UUD1945, dan kita pasti akrab dengan teks ini; "bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan prikeadilan."

Mestinya kita sepakat, tindakan agresor di manapun, di belahan dunia manapun, oleh siapapun, konstitusi kita tidak menghendaki. Suara kita dari negara dunia ketiga emang kurang siginifikan untuk menghentikan agresi suatu negara ke negara lain. Namun, kita perlu juga bersuara, atas dasar rasa kemanusiaan, sesuai amanat konstitusi kita.

Sekarang coba ganti kata 'Ukraina' dengan 'Indonesia', satu petak pulau saja di negara ini diklaim oleh negara lain, kita pasti akan marah. Pun dengan Ukraina yang kedaulatannya coba ditundukan oleh negara lain, yang merasa lebih superior.

Deretan sanksi ini akhirnya membawa kedua negara ke meja perundingan. Pada Senin 28 Februari 2022 waktu setempat atau Selasa dini hari Waktu Indonesia Barat. Delegasi Rusia dan Ukraina berlangsung. Perundingan selama sekitar lima jam itu berlangsung di wilayah Belarus yang berdekatan dengan perbatasan Ukraina, dekat Sungai Pripyat.

Belum ada kata sepakat antara keduanya. Sementara nyawa masyarakat sipil, serta serdadu di kedua belah pihak terus berjatuhan, dan cuma menjadi deretan angka statistik.