Berbeda Boleh, Berkelahi Jangan!
Peristiwa terbaru perihal intoleransi dan persekusi terjadi di Kota Solo. Pengajian pra akad nikah yang disebut dengan Midodareni mendadak didatangi massa yang bermaksud membubarkannya.

MONDAYREVIEW.COM – Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku, bangsa, agama dan antargolongan (SARA). Keragaman ini dibingkai dalam dasar negara pancasila dan semboyan bhinneka tunggal ika. Sila ketiga dalam pancasila adalah persatuan Indonesia, yang berarti keberagaman yang ada harus bisa bersatu di bawah naungan Negara Indonesia. Hal ini bukan berarti identitas yang telah ada harus hilang. Namun identitas yang ada tetap dipelihara sebagai khazanah kekayaan bangsa, bukan sebagai sumber konflik.
Lantas bagaimanakah cara mengelola perbedaan agar keragaman bisa menjadi anugerah bukan musibah? Caranya adalah dengan menumbuhkan kesadaran dan praktik toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana toleransi adalah penerimaan terhadap keyakinan, pemikiran dan perilaku yang berbeda dengan apa yang kita yakini tanpa harus menyetujuinya. Toleransi bisa dipupuk dengan cara tidak mengganggu kegiatan ibadah umat agama yang berbeda dengan kita. Namun tak hanya umat berbeda agama, internal umat beragama pun perlu dipupuk rasa toleransi. Misalnya antar golongan dalam Islam.
Tindakan yang bertentangan dengan toleransi dinamakan dengan intoleransi. Intoleransi adalah sikap memusuhi pemikiran dan keyakinan yang berbeda. Intoleransi dapat berkembang menjadi tindakan persekusi. Persekusi adalah tindakan pemaksaan disertai kekerasan dan intimidasi terhadap pihak yang dianggap berbeda atau menyimpang. Peristiwa terbaru perihal intoleransi dan persekusi terjadi di Kota Solo. Pengajian pra akad nikah yang disebut dengan Midodareni mendadak didatangi massa yang bermaksud membubarkannya. Massa pun mengacaukan dan melakukan tindak kekerasan kepada tuan rumah. Bahkan kapolresta Solo sempat kena pukulan massa.
Motif penyerangan tersebut adalah intoleransi karena yang mengadakan kegiatan disinyalir dari kelompok syiah. Sambil melakukan aksinya, massa meneriakkan slogan-slogan seperti syiah bukan Islam. Kelompok massa intoleran ini melakukan persekusi yang tidak dibenarkan oleh hukum. Setelah kejadian ini polisi segera mengusut dan mencari pelaku, pada 10 Agustus 2020 pelaku berhasil tertangkap. Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) memberikan klarifikasi terkait peristiwa Midodareni yang secara tidak langsung mengakui bahwa anggotanya yang menjadi pelaku dari peristiwa tersebut. Peristiwa ini menimbulkan kecaman diantaranya dari Menteri Agama Fachrul Razi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Jaringan Gusdurian dan GP Anshor Jawa Tengah.
Peristiwa kekerasan yang menimpa jamaah Midodareni menunjukan kepada kita bahwa masih ada kelompok yang berpikir dan bersikap intoleran. Terlebih mereka memilih jalan kekerasan untuk mengekspresikan pemikirannya. Hal ini merupakan ancaman bagi persatuan nasional dan kebhinnekaan. Oleh karena itu baik kelompok sipil maupun pemerintah tidak boleh tinggal diam membiarkan intoleransi dan persekusi terjadi, apapun alasannya. Masyarakat sipil harus memberikan kontra narasi dari intoleransi dengan narasi pro toleransi. Pemerintah juga mesti bersikap tegas tanpa kompromi dalam menegakkan hukum bagi para pelaku intoleransi dan persekusi.
Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa pelaku intoleransi dapat berasal dari kelompok manapun, apakah itu religious maupun nasionalis. Kita tidak boleh terjebak bahwa hanya kelompok tertentu yang
bersikap intoleran. Siapapun bisa menjadi intoleran, kita ingat kasus pembakaran Masjid di Tolikara Papua beberapa tahun yang lalu. Siapapun juga bisa menjadi korban tindakan intoleransi. Maka dari itu intoleransi mesti jadi musuh bersama yang harus dilawan oleh semua kelompok sipil.
Yang perlu diperhatikan juga bahwa toleransi bukan memaksakan kesamaan pandangan. Toleransi justru lahir dari perbedaan pandangan. Terlebih dalam negara demokrasi yang mendorong setiap individu memiliki pandangan sendiri. Toleransi mendorong bahwa perbedaan pandangan jangan menjadi sebab permusuhan dan kebencian. Berbeda boleh, berkelahi jangan!