Belajar Mandiri dari Kuba

Belajar Mandiri dari Kuba
Ilustrasi foto/Net.

JIKA ada satu negara yang hidup dan bertahan di tengah blokade dan beragam sanksi dari Negara Adidaya Amerika Serikat, maka Kuba salah satunya. Sejak tahun 1962, hingga sekarang blokade itu masih terasa.

Jangan heran, jika hingga saat ini kita masih melihat antrean panjang yang berlangsung berjam-jam di sekitar pertokoan. Sebagian besar terdiri atas kaum perempuan. Mengantri untuk membeli kebutuhan pokok yang masih disubsidi. Itu biasa.

Pemandangan biasa lain yang dapat kita lihat di Kuba adalah sepeda-sepeda yang berjalan ritmis bersama mobil-mobil tua sekelas Cadilac 1956, Chevy Bel Air 1957 atau Ford Mustang 1965. Sepeda-sepeda itu didatangkan pemerintah Castro ketika Uni Soviet bangkrut di tahun 1991 dan bensin jadi langka.

Penduduk Kuba sempat merasa terperangkap dalam mesin waktu. Tak bisa kemana-mana. Mereka pun sempat membenci negaranya sendiri. Tak tahan gegara sosialisme ketat yang dijalankan Castro. Sekira 1,5 juta orang Kuba bahkan kabur dan pergi ke Amerika.

Kenapa ke Amerika, karena Kuba dan Amerika sejatinya saudara. Seperti kita dan negara tetangga Malaysia. Pemerintahnya saling benci, kadar kebenciannya kadang begitu pekat. Kadang juga benci tapi rindu.

Situasi ekonomi di Kuba memang kurang mengenakan. Ditambah pandemi yang memperdalam dampak akibat sejumlah sanksi dari tetangganya Amerika Serikat. Blokade itu menyebabkan masyarakat Kuba lebih sulit untuk mendapatkan makanan dan obat-obatan.

Organisasi nirlaba internasional Oxfam baru-baru ini mengeluarkan sebuah laporan (Mei 2021), isinya menyatakan kaum perempuan paling terkena dampak akibat sejumlah sanksi AS di negara pulau tersebut, karena terlalu banyak beban yang dikenakan pada perempuan.

Meski begitu, Kuba selalu punya cara untuk bertahan. Mereka bahkan bisa lebih mandiri. Kuba di bawah Castro pernah mengeluarkan kebijakan nasionalisasi aset-aset asing. Itu sebagai jawaban dari embargo perdagangan negeri adidaya. Hasilnya, negara cerutu ini jadi mandiri. Buktinya hingga 2006 pertumbuhan ekonomi Kuba mencapai 7,5 persen. Tingkat pengangguran di negara ini bisa dikatakan sangat rendah. Hanya 1,9 persen dari angkatan usia kerja.

Perekonomian Kuba lebih banyak ditopang dari industri gula. Sedikitnya, industri ini mampu menguasai 85 persen dari total ekspornya. Dengan kata lain, Kuba merupakan penghasil gula terbesar di dunia setelah Brasil.

Selain gula, Kuba juga dikenal cerutu dan pariwisatanya. Keduanya juga ikut andil menemani warganya bertahan hidup. Cerutu Kuba dikenal sebagai yang terbaik. Setiap kotak cerutu yang bertuliskan Hecho en Cuba (made in Cuba) harganya mahal sekali.

Seperti soal cerutu, Fidel Castro memang punya mimpi dan idealisme yang tinggi soal bagaimana membangun negaranya. Meski untuk itu, ia harus dibenci banyak orang. Termasuk warganya.

Itulah Castro, sang peletak dasar perekonomian Kuba. Sejak menjadi kepala negara pada 1959, dia berupaya keras untuk melindungi aset-aset negaranya. Prinsip berdaulat 100 persen yang dia terapkan tidak hanya berlaku di bidang politik, tetapi juga ekonomi.

Konkritnya, pada 29 Juni-1 Juli 1960 Castro mulai menasionalisasi kilang-kilang minyak milik Texaco, Esso, dan Shell, setelah perusahaan-perusahaan tersebut menolak dibeli pemerintahan Kuba. Langkah itu pun pun dibalas pemerintah AS dengan membatalkan pembelian 700.000 ton gula.

Selain di sektor ekonomi, keijakan nyentrik Castro lainnya adalah di sektor kesehatan. Di eranya, Kuba membangun sistem pendidikan medis yang terintegrasi dengan sistem kesehatan masyarakat. Pendidikan kesehatan jadi lebih personal dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan spesifik masyarkat di suatu kawasan.

Simbol penting bagaimana Castro sukses membangun sistem kesehatan di negaranya adalah berdirinya Escuela Latinoamerica de Medicina, Universitas Kedokteran terbesar di dunia. Universitas yang menawarkan beasiswa bagi calon dokter dari seluruh dunia, terutama negara-negara dunia ketiga. Castro juga rajin menerjunkan dokter-dokter ke pusat-pusat komunitas dan poliklinik. Selain itu, dokter-dokter juga banyak yang diekspor ke negara lain. Kebijakan ini sempat ditolak kalangan dokter, namun Castro pantang mundur. Melalui universitas yang dibangunnya, ia justru makin banyak melahirkan dokter-dokter baru.

Selain soal tenaga medis dan dokter, Kuba juga amat lihai soal vaksin, Kuba jadi salah satu yang termaju. Sebelum Covid-19 hadir, Kuba sudah dikenal sebagai salah satu negara dengan jenis vaksin terbanyak. Setidaknya ada 12 jenis vaksin yang disediakan, gratis.

Tak heran jika di era Covid-19, Kuba pun mampu menciptakan vaksinnya sendiri untuk mengurangi ketergantungan kepada negara lain. Untuk menghadapi Covid-19, Kuba mengembangkan beberapa vaksin, salah satunya adalah vaksin Abdala.

Vaksin dengan nama teknis CIGB-66 ini merupakan vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Center for Genetic Engineering and Biotechnology (CIGB) di Kuba. Tanpa ditemani negara latin lainnya, Kuba maju membawa vaksin Abdala dan Soberana 02 ke uji klinis fase III per 25 Maret 2021.

Hasilnya sangat mengejutkan, vaksin Abdala disebut memiliki efikasi sebesar 92,28 persen. Efektivitas vaksin ini tentu saja menjadi hampir setara dengan Pfijer dan moderna, dua vaksin yang saat ini disebut paling efektif melawan virus.

Hebatnya lagi, Kuba tak Cuma punya Abdala. Tapi juga punya Soberana 01 dan Soberana Plus yang saat ini masih dalam uji klinis tahap awal. Khusu untuk Soberana Plus, vaksin ini diberikan kepada warganya yang sudah pernah positif Covid-19.

Nana Yuliana adalah Duta Besar RI untuk Kuba, ketika berdiskusi malam tadi dengan saya, beliau mengatakan jika keberhasilan Kuba mengembangkan vaksin yang setara dengan Pfizer dan Moderna telah disambut gembira tidak saja oleh warganya, tapi juga negara-negara tetangganya selain AS. Beberapa negara seperti Argentina, Jamaika, Meksiko, Vietnam dan Venezueala telah menyatakan minatnya membeli vaksin Kuba.

Menurut dia, Biofarma di Indonesia bisa saja bekerjasama membuat vaksin secara mandiri, sehingga tidak bergantung pada negara lain. Apalagi sejatinya Kuba adalah sahabat lama Indonesia.

Presiden pertama kita, Bung Karno sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Kuba sejak tahun 60-an. Melihat bagaimana Kuba mengatasi Covid-19 dan mampu mandiri mengembangkan vaksin, Kita atau siapa pun di negeri ini tak ada salahnya belajar. Bagaimana Kuba melakukannya.

Melihat bagaimana Kuba mengatasi covid-19 dan mampu mandiri mengembangkan vaksin, Kita jadi ingat perkataan Bung Karno kepada Fidel Castro ketiga berkunjung ke Havana. “Yang Mulia Castro, Sebuah negara pertama-tama harus mandiri. Itu persyaratan terbesar sebuah revolusi. Ia tidak boleh bergantung kepada siapa-siapa.”

Kata Bung Karno, sebuah negara harus mandiri dan berdikari. Analisa kekuatan modal yang dimiliki, lalu gunakan modal itu 100 persen untuk kesejahteraan umum. Lebih lanjut Bung karno mengatakan bahwa kesejahteraan itu sumber kebahagiaan rakyat.