UU ITE, Kritik dan Pentingnya Standar Etika di Ruang Digital

MONITORDAY.COM - Ada ungkapan futuristik dari sosok ilmuwan muslim Ibnu Khaldun yang amat relevan dengan kondisi saat ini dalam kondisi wabah Covid-19 “Seperti suara-suara keberadaan di dunia telah meminta kehancurannya sendiri. Dunia kemudian memenuhi panggulan tersebut, dan sesungguhnya Allah mewariskan bumi pada siapa saja di dalamnya,” tulisnya secara puitik dalam Mukadimah.
Menariknya, menurut Ibnu Khaldun, wabah adalah konsekuensi yang hampir tak terelakkan dari peradaban. Kata Ibnu Khaldun, pasca wabah maka sebuah dunia baru akan mewujud. Ya, dunia baru itu adalah era digital. Meminjam tipologinya tersebut, maka bisa kita katakan, bahwa wabah adalah alarm bagi kita untuk beranjak ke dunia digital.
Hanya saja, peralihan itu tak bisa semulus jalan tol. Begitu banyak aral yang menghadang, baik lubang, batu, atau bahkan paku yang sengaja disebar. Meski yang namanya rintangan dalam peralihan itu biasa, karena era baru selain membangun pasti juga mendekonstruksi.
Seperti ruang-ruang digital kita yang penuh sesak olah perbincangan bernada syara, misuh, sinis atau bahkan nyinyir. Celakanya, peralihan tradisi-tradisi itu juga berbarengan dengan budaya-budaya lain dalam konteks berbangsa dan bernegara, tradisi berdemokrasi kita. Ini yang repot.
Karena saat ini, seolah tidak ada batasan tentang apa yang disebut kritik, nyinyir atau misuh semata. Ketiganya seolah tak ada beda, menjadi satu, namun ketika menjadi dipersoalkan dengan dasar UU ITE, maka seolah-olah menjadi upaya yang membungkam suara-suara kritis, yang diniscayakan dalam tradisi berdemokrasi.
Betul bahwa, selalu ada dua sisi dari perkembangan tenologi; sisi membangun dan sisi mendekonstruksi. Tak bisa dipungkiri, jika budaya misuh yang populer di ruang digital adalah efek dari perubahan itu. Dari sesuatu yang tabu lalu menjadi hal yang familiar. Seperti misuh dan nyinyir, dari sesuatu yang tabu lalu menjadi familiar ketika masuk ruang digital.
Saya senada dengan para pakar komunikasi, seperti Gun Gun Heryanto, jika kritik tanpa dielaborasi dengan data itu jatuhnya bukan kritik, namun nyinyir atau delegitimasi. Meskipun kritik dijamin konstitusi, tapi mestinya disampaikan dengan nalar dan data. Bukan dengan nyinyir, apalagi misuh berdasarkan like atau dislike.
Karena, seperti diungkap Guru Besar UGM, Prof. Koentjoro, misuh itu bukan budaya kita terutama orang Jawa. Sebaliknya orang Jawa justru dilarang untuk misuh. Karena misuh itu menunjukkan kelas sosial seseorang. Civilian atau tidak.
Jadi jika kini ramai di ruang digital budaya misuh, mengumpat, atau nyinyir, maka jelas sudah kelas orang-orang yang menggemarinya. Karena luhuring budi bukan dari misuhnya, tapi luhuring budi itu gumantung seko lathi atau 'mulut'. Hade gogog, hade tagog, kata orangtua saya dahulu.
Tapi sebaliknya, kritik tentu juga jangan disalahpahami, apalagi dianggap musuh. Kritik jangan pula dianggap sesuatu yang menjijikan. Apalagi dianggap bersebrangan. Jadikan kritik sebagai fungsi kontrol, sebagai pengingat saat langkah sudah mulai salah arah.
Kritik harusnya diberi tempat, jika perlu beri ia mimbar. Agar kita sadar, bahwa kritik adalah pengingat saat kita salah langkah. Tak terkecuali di ruang-ruang digital.
Karena itu, niat Presiden Joko widodo untuk mendorong revisi UU ITE patut diapresiasi. Apalagi raison d’tre UU ini adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika dan agar bisa dimanfaatkan secara produktif.
Jika dalam pelaksanaannya malah menimbulkan rasa ketidakadilan, maka pemerintah dan terutama para penegak hukum harus terbuka atas kritik, ataupun masukan perubahan. Jika perlu kata Presiden, buat pedoman interpretasi resmi tentang pasal-pasal UU ITE. Perubahan Itu, kata Jokowi, agar jelas dan tidak multitafsir.
Jika presiden saja sudah terbuka untuk melakukan pembersihan ruang digital, dan menghadirkan rasa keadilan, maka tugas selanjutnya tentu saja ada di tangan para legislator, akademisi, media, bahkan para tokoh agama untuk memberi masukan. Agar transformasi ke era digital bisa selaras dengan budaya, agama dan kemajuan bangsa kita.
Tugas penting kita saat ini tentu saja merevisi pasal-pasal karet yang memungkinkan publik mendapatkan rasa ketidakadilan itu. Meski tentu saja juga harus disiapkan batasan-batasan yang spesifik dan disepakati bersama, agar ajang kritik tak berubah jadi ajang misuh dan nyinyir semata.
Kita perlu melahirkan ruang digital yang partisipatif, namun tentu saja tidak destruktif. Meski hal ini tidak saja ditemukan di negara kita semata, tapi di negara sekelas Jerman atau Amerika sekalipun. Ada persoalan yang sama terkait perbincangan bernada kebencian, nyinyir dan bahkan misuh di ruang digital mereka.
Tantangan utamanya adalah bagaimana menetapkan standar budaya untuk interaksi di ruang-ruang digital. Ini penting mengingat budaya kita yang beragam. Karena itu standar tersebut perlu didasarkan atas etika yang betul-betul disepakati bersama.
Tanpa standar etika, maka apa yang disebut sebagai ‘spiral kebisuan’ menjadi sama sekali tidak berlaku. Kondisinya jadi terbalik, karena sangat banyak orang di ruang-ruang digital kita yang merasa apa yang dilontarkannya telah mewakili pendapat mayoritas. Suaranya sengau, asal jeplak, dan sekate-kate!