Hapus Rindu dengan WFB

JIKA rasa rindu sudah menumpuk, maka tidak ada obat yang bisa jadi penawar kecuali bertemu. Seperti rasa rindu saya terhadap Bali. Jika sudah rindu, maka selalu saya sempatkan untuk kesana.
Entahlah, saya tidak tau kenapa. Bisa jadi, karena ada temali emosi yang sebetulnya pernah tersambung, tapi kini terputus. Bali bagi saya seperti kampung halaman. Mungkin ini yang disebut sebagai ‘tan hana nguni hana mangke’. Bila tak ada dahulu, maka tak ada sekarang. Bali adalah setetes kecil dari Tatar Sunda.
Igusti Ngurah Sudiana adalah seorang budayawan Bali dan Ketua Parisade Hindu Darma, Provinsi Bali. Ketika berkunjung ke Paseban Jagad Palaka, Ciamis-Jawa Barat, 2018 silam, dia mengatakan, jika budaya Sunda adalah asal muasal dari Budaya Bali. Jadi wajar jika ada rindu.
“Sunda adalah leluhur kami, asal muasal dari Budaya kami. Alasan kami bersilaturahmi kesini adalah untuk menyambung kembali benang merah budaya yang sudah terputus,” jelas Sudiana mengenakan baju serba putih. Lengkap dengan udeng berwarna putih, mirip totopong dalam budaya leluhur saya.
Selain karena kesamaan budaya, hubungan kita dengan Bali menjadi lebih dekat karena ia menjelma jadi alternatif tempat untuk bekerja. Tren baru tersebut adalah Work from Bali atau WFB katanya. Tren ini tercipta bukan hanya karena tingginya minat masyarakat untuk bekerja dari Bali atau dimana pun selain di kantor, namun Pemerintah juga tengah mendorongnya.
Sebut saja Bang Sandi Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif hingga Luhut Binsar Panjaitan, Menko Kemaritiman dan Investasi. Keduanya begitu kompat mendorong program Bekerja dari Bali. Keduanya bahkan mengungkapkan akan ada sekira 25 persen ASN yang bakal melakukan WFB. Program ini dinilai wujud nyata usaha Pemerintah untuk memulihkan wisata Bali yang mati suri gegara pandemi.
Sebelum datang Covid-19, rujukan kita soal masa depan adalah kemajuan teknologi. Tapi kini, semua berbeda. Gegara pandemi, teknologi tak hanya seorang. Tapi harus pula kita pertimbangkan protokol kesehatan.
Seperti dalam kasus, mall, yang tetiba saja mati. Padahal, raison d’etrenya amat futuristik. Ingin memadupadankan minat belanja dengan wisata. Jadilah ia bangunan arsitektur nan megah berisi ribuan produk yang didisplay sedemikian rupa.
Tuan dan puan jadi bisa melihat bagaimana malam berubah, seperti juga dunia berubah. Ruangannya disulap jadi luas dan indah. Disejukkan pengatur udara, cahaya listrik tak pernah putus, dan iklan bergambar yang selalu bergerak tanpa henti. Alunan musik menyusup ke lorong-lorong yang memajang ratusan meter etalase busana, kuliner, dan apa saja. Semua ada disana.
Tapi kini, gegara kemajuan teknologi dan pandemi, semua berubah. Tak bisa lagi rekreasi kita nikmati di mall-mall dengan tenang hati. Selalu ada perasaan was-was, takut bernasib naas gara-gara virus ganas Covid-19.
Maka, tren yang memadukan bekerja dan wisata macam WFB menjadi sangat pas. Karena kita telah sampai di era dunia kerja digital. Kecemasan akan hilangnya pekerjaan di waktu mendatang kian tinggi, apalagi dengan berbagai perubahan besar yang terjadi. Berakibat pada akselerasi teknologi yang lebih cepat daripada perkiraan.
Kemampuan sumber daya manusia harus ditingkatkan, agar mampu masuk dalam berbagai jenis pekerjaan baru. Termasuk cara baru dalam bekerja. Yaitu era dunia kerja digital. Saat pekerjaan bisa dilakukan dimana saja, tak cuma di kantor. Tapi bisa di rumah atau bahkan sambil pelesiran. Seperti Work from Bali atau Work from Lombok dan Work from Bandung.
Meski kini, pertanyaan-pertanyaan seputar mekanisme, hingga penerapan protokol kesehatan terus mengalir. Tapi tampaknya, indahnya Bali dan hangatnya Pulau Dewata jadi daya tarik sendiri. Bagi siapa pun yang penat dengan rutinitas ibukota. Suasana damai dan mudahnya akses mendapatkan rekreasi membuat sebagian karyawan yang perusahaannya memberlakukan Work from Home (WFH), menggeser kursi kerjanya ke Bali.
Termasuk saya, minggu kemarin. Bekerja sambil wisata. Di tengah Bali yang sudah mulai menggeliat. Ada harapan dan optimisme di mata mereka.
Saat kita memasuki dunia kerja digital, seperti WFB, maka konsep mixed use building pun menjadi tak relevan lagi dengan perubahan zaman. Bangunan-bangunan pencakar langit tak lagi bisa mengakomodasi banyak fungsi urban; tempat tinggal, tempat bekerja, tempat belanja. Ketiganya kini, malah pergi ke lain tempat.
Tempat tinggal berpindah ke tempat-tempat terpencil yang tak begitu padat. Sekaligus yang bisa mengakomodasi kebutuhan kerja. Begitu juga dengan belanja atau rekserasi masing-masing punya lokasi berbeda yang tak bisa lagi dinikmati secara bersama.
Ya, kemajuan teknologi memang tak cuma mengubah cara kita bekerja, tapi juga cara belanja, cara kita tinggal, hingga cara kita menikmati rekreasi. Covid-19 lalu mengakselerasinya dan membuat kita kian cepat memasuki dunia kerja digital.